PEMBERI SUARA AKTIF, RESPONSIF, REAKTIF
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Memasuki kebebasan berkomunikasi pasca reformasi politik di
indonesia, pembicaraan politik di forum terbuka yang mengkritisi kebijakan
pemerintah menjadi hal yang biasa. Padahal, sebeumnya tidak mudah mengungkapkan
kritik terhadap pelayanan publik di indonesia. Terlebih lagi jika kritik dan
ketidaksepakatan menyangkut pusat-pusat kekuasaan, yang mengendalikan roda
pemerintahan, jelas sebagai tindakan yang sulit ditemukan
Bahkan sebatas bernostalgia terhadap sisi positif masa
pemerintahan sebelumnyapun sulit diungkapkan di ruang-ruang publik, akibat
kontrol ketat terhadap arus informasi lateral maupun vertikal dari pemerintahan
sebelum reformasi politik. Terjadinya perubahan sistem politik di indonesia
sejak tahun 1998, jelas membawa dampak kompleks dalam kebebasan mencari,
menggunakan dan menyampaikan pendapat kepada rakyat. karena satu sisi menerima
gegap gempita kebebasan berkomunikasi di pihak lainnya, justru merasa terganggu
dan memposisikan demokrasi berkomunikasi merupakan biang keladi dari berbagai
masalah yang dihadapi bangsa dan negara.
Tentu saja dapat dimaklumi, mengingat pola komunikasi
dalam pemberitaan, penyiaran dan pembicaraan publik, yang di unggulkan adalah
demi stabilitas nasional. Sebuah jargon komunikasi politik populer pada
massanya, yang menghasilkan linier data dalam bingkai keserasian, keselarasan
dan keseimbangan. Dalam nuansa tanpa gejolak dan keseragaman informasi satu
arah tanpa interaksi egaliter, maka ruang-ruang publik diisi oleh komunikasi
politik sebagai epigon retorika kekuasaan negara, yang cenderung mengedepankan
keberhasilan dibandingkan ketidakmampuan mengemban sejumlah tugas pembangunan
untuk seluruh rakyat, tanpa diferensiasi sosial, ekonomi, dan politik.
Karena
itu, ketika indonesia memasuki era kemerdekaan bereskpresi sangat beralasan
jika selalu muncul pro dan kontra terhadap etika komunikasi atau pembicaraan di
ruang publik. Namun yang harus di junjung tinggi bersama tentang kebebasan
berpendapat adalah landasan hukum kebebasan berkomunikasi. Menurut
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28F, menyebutkan “ setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimana
Konsekuensi komunikasi pemilihan umum?
b.
Bagaimana
Komunikasi dan pemberian suara?
1.3
TUJUAN
a.
Untuk
Mengetahui Konsekuensi komunikasi pemilihan umum
b.
Untuk
mengetahui Komunikasi dan pemberian suara
1.4
MANFAAT
a. Untuk pemerintah
Sebagai
masukan dan dorongan agar bisa mengkomunikasikan politiknya dengan baik.
b. Untuk Dosen
Sebagai acuan dan penambahan untuk
media pembelajaran di tingkat lingkungan akademisi.
c. Untuk Mahasiswa
Sebagai model mata kuliah dan
menambah wawasan dan refrensi dan bahan bacaan.
d. Untuk Mayarakat
sebagai penambanahan wawasan pendidikan
politik serta sosialisasi politik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KONSEKUENSI KOMUNIKASI PEMILIHAN UMUM
2.1.1 PEMBERIAN
SUARA DAN TINDAKAN PEMBERIAN SUARA
Dengan dilengkapi berbagai agregat dan teknik
peneitian survei, para ilmuwan politik dan sarjana komunikasi telah mempelajari
pola pemberian suara pada para pemilih bangsa Amerika selama beberapa dasawarasa.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abram, diantara studi tertua mengenai
pemberian suara banyak yang menerangkan perilaku dilihat dari segi
sosiopsikologis, yaitu dengan menekankan pengaruh kelompok pada dan
kecenderungan (presdisposisi) politik dari, para pemilih.[1]
Studi yang diselenggarakan oleh Biro Penelitian Sosial Terapan (Bureau of
Applied Social Research, BASR) dari Universitas Columbia mengemukakan
kesimpulan yang khas bahwa pada hakikatnya, pemberi suara adalah pengalaman
kelompok.[2]
Perangkat peneliti yang kedua adalah yaitu pusat penelitian Survei (Survey
Research Center, SRC) dari Universitas Michigan, menekankan faktor psikologis
sebagai determinan pemberian suara, terutama sikap politik para pemberi suara
yang menetap, termasuk ikatan afektif mereka kepada salah satu diantara kedua
partai politik utama.[3]
baik studi BASR maupun SRC tidak memandang kampanye politik sebagai pengaruh
yang sangat penting terhadap pemberian suara.
Kesimpulan umumnya ialah bahwa orang yang paling banyak
diterpa komunikasi persuasif kampanye adalah yang paling cenderung telah sampai
kepada putusan pemberian suara. Yang paling besar kemungkinannya dipengaruhi
ioleh himbauan persuasif adalah yang paling sedikit minatnya terhadap politik
dan, karena itu, paling sedikit kemungkinannya memerhatikan komunikasi
kampanye. Namun, pada tahun-tahun terakhir muncul trend ketiga dalam studi tentang pemberian suara, yaitu perspektif revisionis yang
memberikan peran yang penting kepada komunikasi kampanye. Studi-studi yang
terbaru itu berfokus pada kegunaan dan pemuasan yang diberikan oleh media
komunikasi kepada pemilih. Mengapa oranag memperhatikan kampanye, dan hubungan
antara pengharapan pemilih terhadap pengaruh yang meungkin ada dan perilaku
mereka yang nyata yang berbentuk suara.[4]
Dari tradisi sosiopsikologis, psikologis dan
berorientasikan komunikasi dalam studi pemberian suara ini kita dapat
menurunkan empat cara alternatif dalam memikirkan bagaimana pemberian suara
bertindak. Perspektif ini membantu kita dalam merumuskan pandangan tentang
pemberian suara sebagai tindakan komunikasi.
2.1.2
PEMBERI SUARA RASIONAL.
Pemberi suara
yang rasional adalah pemberi suara berdasarkan aksi atau tindakan dari diri
sendiri dalam menentukan pilihan, orang-orang yang rasional dalam memberikan suara.
Studi BASR dan
SRC tentang pemberian suara secara langsung meragukan pandangan tentang pemberi
suara yang di asosiasikan dengan teori demokratis klasik. Pandangan yang kita
singgung secara singkat. Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional
diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara
yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warga negara. Orang yang
rasional :
1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif
2. Memilih alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih di sukai,
sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain
3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara transitif : jika A lebih disukai
daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C.
4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensinya paling tinggi.
5. Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada
alternatif-alternatif yang sama.[5]
Dengan penjelasan demikian maka tindakan rasional itu
terdiri atas perhitungan cara atau alat yang tepat untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Apakah tujuan tindakan itu rasional. Tidak dipermasalahkan kita hanya
berurusan dengan alat atau cara untuk mencapainya. Bila ditempatkan dalam arena
politik, gagasan tentang tindakan rasional itu menetapkan persyaratan yang
ketat untuk memberikan kualifikasi sebagai pemberi suara yang rasional. Pemberi
suara yang rasional selalu dimotivasi untuk bertindak jika dihadapkan pada
pilihan politik, berminta secara aktif terhadap politik sehingga memperoleh
informasi yang cukup dan berpengetahuan tentang berbagai alternatif, berdiskusi
tentang politik sebagai cara untuk mncapai suatu peringkat alternatif, dan
bertindak berdasarkan prinsip, “bukan secara kebetulan, atau serampangan, atau
implusif, atau kebiasaan, melainkan berkenaan dengan standar yang tidak hanya kepentingan
diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan umum.[6]
Dengan demikian, pemberi suara rasional yang bermotivasi diri, terinformasi,
dan berprinsip itu bertindak secara konsisten dalam menghadapi tekanan dan
kekuata politik.
Pukulan yang diberikan oleh studi tentang pemberian suara
kepada konsepsi pemberi suara rasional dari perilaku dalam pemilihan umum
benar-benar hampir mematikan. Berbagai survei tentang populasi yang telah
berusia untuk memilih yang dilakukan pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an,
berulang kali mendokumentasikan bahwa perhatian pemilih kepada politik
sedang-sedang saja, jarang termotivasi untuk memberikan suara, jarang
mendiskusikan isu dan kandidat, hanya melakukannya secara dangkal, kurang
memiliki informasi. Dan mudah mengambil cara yang justru bersifat kebetulan,
serampangan, implusif, dan kebiasaan dalam mendekati politik seperti yang
disesalkan dalam teori demokratis klasik. Maka sekarang, tinggal selangkah lagi
bagi bangsa amerika, yaitu pemberi suara yang reaktif.
2.1.3 PEMBERI SUARA YANG REAKTIF
Gambaran tentang pemberi suara yang reaktif bukan
gambaran yang bersifat memuji. Gambaran itu diturunkan dari asumsi fisikalistik
bahwa manusia bereaksi terhadap rangsangan dengan cara pasif dan terkondisi
dalam kampanye politik kandidat dan partai menyajikan isyarat yang menggerakkan
para pemilih dengan memicu faktor-faktor jangka panjang yang menetapkan arah
perilaku dalam memberikan suara. Seperti yang telah dilakukan diatas, studi
yang lama oleh BASR tentang pemberian suara memandang faktor-faktor sosial.
Para peneliti mengumpulkan banyak sekali data yang mengesahkan tentang atribut
sosial dan demografi yang berkorelasi dengan keputusan dalam memberikan
suara-ukuran kelas sosial termasuk pekerjaan, pendidikan dan pendapatan, dan atribut usia, jenis kelamin, ras, agama, wilayah tempat
tinggal, dan sebagainya.[7]
Sebagai contoh pandangan bahwa pemberi suara beraksi
terhadap pemilihan umum berdasarkan faktor-faktor sosial dan demografi jangka
panjang, yakni bahwa pemberian suara lagi-lagi merupakan saksi diri. Perhatikan
Indeks Predisposisi politik, yaitu rumus-rumus dari salah satu studi yang
paling dini tentang pemnerian suara. [8]
indeks ini terdiri atas seperangkat kategori sosio-demografi-agama, status
sosio-ekonomi, dan tempat tinggal perkotaan-pedalaman yang membantu para
peneliti dalam menerangkan pemberian suara. Bergantung pada posisi seseorang
pada indeks itu, kita bisa mengatakan arah mana yang akan diambil oleh orang
itu dalam memberikan suara.
Studi tentang pemberian suara pada tahun 1950-an dan awal
tahun 1960-an beralih dari tekanan pada korelasi demografi kepada pandangan
sikap bahwa dalam kerjasama yang erat dengan atribut, membuat para pemberi
suara cenderung berperilaku dengan cara tertentu. “variabel penengah”
mentalistik (sikap, predisposisi, identifikasi, kesetiaan, dsb.) berfungsi
sebagai konstruk perantara dalam urutan penyebab-akibat yang menggambarkan
pemberi suara sebagai jelas pasif dan mekanistik.
![]() |
![]() |
||||||||
![]() |
|||||||||
![]() |
|||||||||
![]() |
|||||||||
Diantara
konstruk-konstruk yang menghubungkan pengaruh sosial dengan pemberian
suara, yang paling penting bagi pemberi suara yang reaktif ialah ikatan
emosional kepada partai politik. Dalam kompetisi suara yang mencapai
perseorangan, partai politik merupakan agen pembentu`k opini yang sangat penting”. Studi studi SRC mencirikan ikatan emosional
kepada partai sebagai identifikasi “identifikasi partai” yakni sumber utama
aksi diri pemberi suara yang reaktif. “sekedar mengasosiasikan lambang partai”
dengan nama kandidat mendorong mereka mengidentifikasikan diri dengan partai
untuk mengembangkan citra yang lebih menguntungkan tentang catatan dan
pengalamannya, kemampuannya, dan atribut personalnya. Oleh karena itu, identifiksi dengan partai meningkatkan tabir perseptual melalui
tabir itu individu melihat apa yang menguntungkan bagi orientasi kepartaiannya.
Semakin kuat ikatan partai itu, semakin dibesar-besarkan proses seleksi dan
distorsi persepsi.[9]
Survei menunjukkan bahwa tiga perempat sampai emapt
perlima dari banga amerika memiliki identifikasi kepartaian, mereka yang tidak
memilikinya bagaimanapun cenderung tidak memberikan suara. Jadi, lagi-lagi
tidak sukar melukis potret seorang pemberi suara diantara orang-orang amerika
sebagai mesin pasif yang digerakkan terutama oleh kekuatan-kekuatan yang
merangsang kecenderungan yang laten.
Fokus pada hubungan atribut sikap sebagai penyebab utama
memberi suara membangkitkan skeptisisme bahwa kapasitas komunikasi politik
dalam kampanye memiliki akibat memicu yang lebih dari minimal. Kesetiaan pada
partai, misalnya hanya sedikit sekali keterkaitan dengan perhatian para pemilih
terhadap isu atau masalah kebijakan. Kesetiaan partai diturunkan dari ikatan
emosional terhadap lambang yang diperoleh pada masa awal proses sosialisasi.
Dalam kampanye , pemberi suara yang responsif menyambut atau mencela
lambang-lambang yang diajukan, tetapi kebanyakan mengabaikan isu-isu atau
posisi kebijakan partai-partai. Lebih lebih, seperti telah dikemukakan, para
pemberi suara ini secara selektif mempersepsi mutu para kandidat yang bersaing,
bukan secara rasional menghargai kelebihan dan kekurangan mereka oleh sebab itu
tidak mengherankan bahwa kebanyakan pemberi suara telah memutuskan, hampir
sejak awal kampanye kepada siapa suara mereka akan diberikan, kemudian
menggunakan komunikasi politik untuk memperkuat putusan itu.
Dimulai pada pertengahan tahun 1960-an semakin banyak
sarjana yang merasa ragu atas gambaran pemberi suara reaktif dari pemilih,
presisi seperti studi tentang pemberi suara yang menimbulkan model reaktif
menghadapi gamabaran terhadap tentang pemberi suara yang rasional. yang jelas,
hasil sejumlah besar pemilihan kepresidenan menyimpang dari apa yang di
harapkan oleh para peneliti berdasarkan anggapan bahwa rakyat memberikan suara
terutama berdasarkan atribut sosial atau kesetiaan terhadap partai yang kekal.
Dalam kontes kepresidenan yang berturut-turut, faktor faktor jangka pendek yang
khas pada pemilihan umum memberikan keterangan yang lebih baik tentang apa,
yang terjadi ketimbang faktor faktor jangka panjang imbauan Dweight Eisenhower
(Republikan) yang gambalang dalam merebut suara demokrat pada tahun 1952 dan
1956. Banyaknya demokrat yang tidak mendukung John F. Kennedy pada tahn 1960
karena dia beragama khatolik membelotnya republikan dari pencalonan Barry
Goldwater pada tahun 1964 dan kegagalan partai yang memiliki mayoritas
pengidentifikasi. Partai demokrat, untuk menang baik pada tahun 1968 maupun
pada tahun 1972. Petunjuk lainnya bahwa atribut yang tetap tidak selalu
mempengaruhi arah pemberian suara partisan ialah fakta bahwa sebenarnya seluruh
kategori sosial dan demografi mengalihkan dukungannya diantara partai-partai
dalam pemilihan umum yang satu kepemilihan umum yang lain dengan tingkat yang
kira-kira sama. Selain itu, surrvei menunjukkan bahawa perhatian rakyat
meningkat, baik terhadap isu maupun terhadap kebijakan dan sering menempatkan
diri mereka dibelakang barisan kandidat berdasarkan persepsi mereka tentang
posisi isu dan mutu pribadi kandidat tersebut. Akhirnya, studi menunjukkan
bahwa kecenderungan bangsa amerika untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan
kedua partai utama sedang merosot.
Semakin banyak orang yang menamanakan diri mereka independen dan bahkan
mendemonstrasikan independe itu melalui meningkatnya pemberian suara spleet
ticket di dorong oleh bukti bahwa sedang terjadi perubahan dalam politik
pemilihan umum, para pengamat merumuskan pandangan yang lain lagi tentang
seperti apakah pemberi suara yang semacam itu. Pemberi suara macam itu, dinamakan
pemberi suara yang responsif.
2.1.4 PEMBERI SUARA RESPONSIF
Pemberi suara
responsive adalah pemberi suara yang memiliki karakter impermanen, berubah
mengikuti waktu, peristiwa politik, dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap
pilihan para pemberi suara. Ilmuwan politik Gerald Pomper membuat gambaran tentang
pemberi suara yang responsif.[10]
Apabila karakter pemberi suara yang reaktif (yang boleh pomper disebut pemberi
suara yang : “dipenden”) itu tetap stabil, dan kekal, maka karakter pemberi
suara yang responsif adalah impermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik,
dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi suara. Ada
perbedaan lain, tulis Pomper, yang membedakan pemberi suara yang responsif dari
yang reaktif.
1.
Meskipun pemberi suara yang responsif itu
dipengaruhi oleh karaktersistik sosial dan demografis mereka, pengaruh yang
pada hakikatnya merupakan atribut yang permanen ini tidak deterministik.
Seperti dalam argumentasi Key dan Munger, karakteristik ini bergerak keluar
masuk wilayah yang mempunyai relevansi politik dan karena menentukan prefensi
politik, karakteristik ini menghadapi banyak sekali gesekan
2.
Pemberi suara yang responsif juga memiliki
kesetiaan kepada partai, tetapi afiliasi ini lagi-lagi tidak menentukan perilaku
pemilihan sebenarnya, ikatan kepada partai ini lebih rasional ketimbang
emosional. Sebab, dengan mengasosiasikan
partai dengan isu, pemberi suara yang responsif secara rasional mengurangi
biaya partisipasi pribadinya (yaitu pemberi suara itu menggunakan partai
sebagai jalan pintas untuk menggumpulkan informasi tentang isu) dan secara
efektif mengungkapkan kepentingan personal. Apabila pemberi suara yang reaktif
mengidentifikasikan dirinya dengan partai sebagau pengganti untuk melakukan
pertimbangan yang independen, maka identifikasi partai pada pemberi suara yang
responsif membantunya dalam tugas membuat pilihan.
3.
Pemberi suara yang responsif lebih dipengaruhi
oleh faktor-faktor jangka pendek yang penting dalam pemilihan umum tertentu
ketimbang oleh kesetiaan jangka panjang kepada kelompok dan atau kepada partai
yang lebih penting daripada semua pemilihan umum. Banyak warga negara yang
mengganti pilihan kepartaiannya dari pemilihan umum yang satu ke pemilihan umum
yang lain sebagai fungsi dari posisinya terhadap isu dan sebagai
penghargaan kepada kapasitas kandidat.
Pomper mengutip V.O. Key, Jr., yang disetujuinya, yang berarti bahwa gambaran pemberi
suara yang responsif “bukanlah gambaran tentang pemilih yang dibelenggu oleh
determinan sosial atau digerakkan oleh dorongan bawah sadar yang dipicu oleh
propagandis yang luar biasa terampilnya. Ia lebih merupakan gambaran tentang
pemilih yang digerakkan oleh perhatiannya terhadap masalah pokok dan relevan
tentang kebijakan umum, tentang prestasi pemerintah , dan tentang kepribadian
eksekutif.
2.1.5 PEMBERI SUARA AKTIF
kita kembali kepada
tema yang telah berkali-kali kita ulang, yaitu bahwa manusia bertindak terhadap
objek berdasarkan objek makna objek itu bagi mereka. Pada kilasan pertama tampaknya hanya sedikit perbedaan-perbedaan dalam menganggap
manusia agen yang reaktif atau agen yang responsif. Akan tetapi, melihat
perbedaan yang fundamental .bila dipandang demikian, individu yang aktif itu
menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna untuk bertindak
bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya, yang terhadapnya
orang menanggapi karena sifat atributdan atau sikap individu atau jangkauan
raangsangan yang terbatas. Tentu saja rangsangan kampanye politik yang
membangkitkan tanggapan tidak dapat dianggap seragam dalam pikiran orang. Ada yang memperhatikan kampanye dengan cermat,
barangkali bahkan terlibat secara aktif yang lain hanya melirik judul berita
atau berita televisi malam, banyak yang sama sekali tidak mengindahkannya.
Demikianlah, orang memilih diri mereka dalam hubungannya dengan apa yang
diperhitungkan oleh merekadalam kampanye, sebagai lebih dari sekedar bilik gema,
mereka mentransformasikan masukan yang tak bermakna menjadi lambang politik
dengan makna yang tumbuh, yang tetap tidak berubah, yang mengecil, atau bahkan
yang menghilang ketika mencapai berbagai sektor publik.
Bila dipandang seperti ini, maka rangsangan atau pilihan
yang diberikan kepada para pemberi suara dalam kampanye politik tidak lagi
tetap atau terbagi merata keseluruh pemilih ketimbang atribut sosial dan
kecenderungan pemilih. Akan tetapi, isi komunikasikampanye bervariasi dalam
kecepatan tanggapan orang terhadapnya karena proses definisi yang mengantarnya,
dan dalam variasi kekayaan yang dipersepsi diantara berbagai alternatif oleh
para pemberi suara:
Dalam kampanye politik, berbagai media berpartisipasi
dalam proses keseluruahan yang terus berkembang banyak sekali menangani
peristiwa yang sama dan menanggapi penyajian satu sama lain. Yang disajikan
oleh media itu disaring dan diatur dengan berbagai cara dalam pengalaman orang,
dengan banyak diantaranya yang dipilih dan digunakan dalam gelanggang komunikasi
lokal. Susunan proses komunikatif dianggap emberikan pengaruh yang nyata, yang
dapat tetap dipisahkan dan diukur dengan beberapa pararelogramkekuatan.
Jika disederhanakan, kampanye politik mengambil bentuk
dan memperoleh makna bagi pemberi suara melalui komunikasi. Keterlibatan
pemberi suar tidak dibatasi, baik dalam mendaftarakan atribut dan atau sikap
yang tetap maupun dalam menanggapi imbauan kampanyeyang tetapkan sebelumnya.
Keterlibatan aktif mencakup orang yang mengintepretasikan peristiwa, isu,
partai, dan personalitas, dengan demikian menetapkan dan menyusun maupun
menerima serangkaian pilihan yang diberikan. Para pemberi suara merumuskan
citratentang apa yang diperhitungkan oleh mereka, citra yang sangat bervariasi
dan secara terus menerus. Dengan demikian suara adalah tindakan komuniasi.
2.2 KAMPANYE, KOMUNIKASI DAN PEMBERIAN SUARA.
Memberikan suara adalah salah satu tindakan terakhir
dalam kampanye pemilihan umum, suatu rangkaian pertukaran yang panjang dan
kadang-kadang memanas yang membentuk proses komunikasi. Untuk memahami ciri
dasar kampanye politik sebagai proses komunikasi ada baiknya kita meninjau kembali secara sinngkat perspektif dasar kita
tentang kegiatan manusia. Ingat bahwa perilaku sosial adalah suatu kompleks
interkasi. Interaksi ini ada dua jenis, yaitu yang nonsimbolik dan yang
simbolik. Interaksi nonsimbolik terjadi jika orang menanggapi objek, termasuk
perilaku orang lain.
Kampanye
politik adalah penciptaan, penciptaan ulang dan pengalihan lambing signifikan
secara sinambung melalui komunkasi. Kampanye mengabunggkan partisipasi aktif
yang melakukan kampaye dan pemberi suara. Media yang digunakan oleh para pelaku
kampanye, promotor, dan jurnalis yang memainkan peran dalam media turut
menciptakan dan memodifikasi lambing-lambang signifikan. Para pemberis suara
secara selektif memperhatikan hal-hal tertentu dalam kampanye,
memperhitungkannya dan menginterpreatasikannya. Konsekuensinya, imbauan yang
melakukan kampanye itu lebih dari sekedar pesan pada susunan saraf pemberi
suara. Pemberi suara melakukan lebih dari hanya membuka mata mereka, sehingga
rangsangan dapat menghujani retina mereka. Pilihan pemberi suara tidak segera,
langsung dan menurut kebiasaan tetapi tertangguhkan, para pemberi suara
menghambat reaksi mereka dan menguji berbagai tanggapan dalam imajinasi mereka
dengan cara itu, pemberi suara menusun citra tentang kampanye dan yang
melakukan kampanye, citra yang memberikan signifikasi kepada lambing-lambang
yang di sodorkan.
2.2.1 TINDAKAN
PEMBERIAN SUARA
Banyak
pertimbangan yang diperhitungkan kedalam proses yang digunakan oleh pemberi
suara untuk menetapkan putusan mereka. Tiga diantaranya sangat signifikan dalam
membentuk latar belakang pemberi suara
mempersepsi komunikasi tentang isu dan kandidat yang diterima selama kampanye
yaitu terdisi atas: atribut, perspektif, dan persepsi pemberi suara.
a. ATRIBUT PEMBERI SUARA: KARAKTERISTIK SOSIAL DAN DEMOGRAFI
Banyak diantara
penelitian terdahulu tentang pemberi suara, membedakan atribut sosial dan
demografi dari pemberi suara partisan dan independen. Studi menunjukkan pada
pertengahan tahu 1960-an menyingkapakan bahwa golongan independen kebanyakan
terdiri atas orang-orang yang berpusat kearah jenjang pendapatan, pekerjaan,
dan pendidikan yang paling rendah, dan paling kecil kemungkinannya
berpartisipasi dalam politik apapun.
Sedangkan penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya
terdapat pendapat independen. Yang pertama terdiri atas nonpartisipan dalam
kategori status sosio-ekonomi rendah, dan yang kedua terdiri atas orang-orang
yang berpendidikan di atas sekolah menengah, dalam kelompok pendapatan
menengah, dan dengan pekerjaan administrasi.Sedangkan De Vries dan Tarrance
membedakan dari independen yang lama dan
baru, ini satu golongan lagi, yaitu “kekuatan yang baru” dalam politik
Amerika. Kekuatan ini adalah pemberi suara yang mengaku bahwa dalam pemilihan
umum mereka memberikan suara kepada kandidat lebih dari satu partai, bukan
langsung kepada satu partai.
Dalam beberapa
pemilihan kepresidenan terakhir terdapat peningkatan kecendrungan pada pemberi
suara untuk melihat perbedaan diantara kedua partai dan kandidat terhadap isu
pemilihan. Oleh karena itu pandangan Axelrod yangmengatakan bahwa kelompok
pemberi suara di dalam masyarakat mengalihkan dukungan mereka dari satu partai
keparatai yang lain atau dari satu kandidat kekandidat yang lain, kebanyakan
sebagai tanggapan terhadap trend nasional bukan karena alasan yang menyangkut
kelompok tertentu. Tetapi yang berspesialisasi memang melihat perbedaan
diantara partai politik utama mengenai isu yang penting bagi mereka. Jadi,
misalnya golongan itu melihat perbedaan kepartaian terhadap isu jaminan sosial
dan perawatan kesehatan, pengusaha melihat perbedaan dalam ukuran ekonomi,
golongan kulit hitam mengamati perbedaan dalam isu hak sipil dan kesempatan
kerja, dan sebagainya. Bila isu itu menonjol bagi orang dengan atribut sosial
tertentu, maka isu yang bersangkutanlah, bukan karena trend nasional, yang
menerangkan tanggapan anggota kelompok sosial terhadap partai dan kandidat yang
bersaingan. Dalam hal seperti itu, atribut sosial dan demografi seseorang menerangkan
perspektif pemberi suara.
b.
PERSPEKTIF PEMBERI SUARA : MENGEMBANGKAN CITRA POLITIK
Orang belajar
mengidentifikasikan diri dengan lambang-lambang signifikan melalui pembicaraan
politik, persuasi, sosialisasi, dan pembentukan opini. Orang yang memasuki
kampanye politik, misalnya membawa berbagai titik pandang yang terikat erat
kepada citra diri politik mereka, mereka tidak hanya melihat segala sesuatu
terjadi ( citra diri jangka pendek, persepsi terhadap objek-objek politik ).
Mereka mengamatinya dari titik pandang individual (citra diri politik jangka
panjang, atau perspektif mereka). Diantara pokok-pokok yang menguntungkan yang
dibawa oleh pemberi suara yang berkembang, yaitu diteliti lima pokok:
identifikasi partisan, kelas sosial, kecendrungan ideologis, konsepsi tentang
sifat-sifat yang diharapkan pada pemegang jabatan yang ideal, dan kekhawatiran
pribadi
c. PERSEPSI PEMBERI SUARA: CITRA POLITIK YANG KHAS KAMPANYE
Para pemberi
suara secara selektif mempersepsi partai
partai, kandidat, isu, dan peristiwa,
dalam kampanye, memberi makna kepada mereka, dan berdasarkan itu menentukan pemberian suara. Melalui
proses interpretativ, mereka tidak hanya memperhitungkan atribut dan
perkembangan mereka, yaitu citra jangka panjang, tetapi jiuga menyusun citra
jangka pendek tentang objek kampanye.
2.2.2 KOMUNIKASI POLITIK DAN CITRA PEMBERI SUARA
a. MUNCULNYA PROSES
KOMUNIKASI KAMPANYE
Jika diketahui
kenyataan bahwa selama pemilihan untuk presiden, anggota kongres, gubernur,
legistlasi Negara bagian, dan banyak jabatan yang lebih terendah sebagai warga
Negara hampir tidak mungkin melindungi diri mereka sendiri dari imbauan para
kandidat atau yang berkampanye merupakan faktor utama dalam membantu para
pemeberi suara dalam mencapai pemilihan umum.Bila masing-masing diantara banyak
produk makanan mempunyai sifat khusus sendiri untuk membedakannya dengan
pesaingnya, begitu juga para kandidat politik.Berdasarkan kesetian sosial dan
kesetiaan pada partai, orang secara selektif memantau komunikasi kampanye,
membaca, mendengarkan, dan menonton apa yang mendukung pendirian mereka dan
menghindari pesan-pesan yang tidak mendukungnya.
Terpaan komuniaksi membawa serta
akibat otomatis sehingga bila pemberi suara dapat diterpa imbauan berkali-kali
sampai jumlahnya cukup banyak, mereka akan bereaksi kearah yang dimaksudkan.
Tiga
kemungkinan akibat komunikasi terhadap pemberian suara memperkuat keputusan partisan
yang telah dibuat, mengaktifkan warga Negara yang acuh tak acuh kalau tidak
diaktifkan, dan mengubah orang yang ragu-ragu, menurut taksiran, kurang dari
dua diantara sepuluh pemberi suara mengalami perubahan kampenye seperti itru
b. FUNGSI
KOMUNIKASI KAMPANYE SEBAGAI KATALISATOR
Katalisatior
adalah sesuatu yang mempercepat, memodifikasi, dan sering meningkatkan proses
tau peristiwa tanpa ia sendiri menjadi habis terpakai hal ini tentulah
merupakan salah satu cara untuk memikirkan apa yang dilakukan oleh komunikasi
politik dalam kampnye pemilihan umum.
Terhadap
katalisator inilah, yakni komunikasi kampanye, para pemberi suara bertindak
dalam merumuskan kepercayaan, nilai, dan pengharapan mereka terhadap objek
kampanye. Maka, jika dirangkumkan, komunikasi kampanye adalah katalisator
dengan konsekuensi kognitif, afektif, dan konatif.
1.
AKIBAT KOGNITIF
Sejauh mereka
meneliti apa akaibat kampanye pada pemberi suara, studi pemberian suara
generasi pertama dan kaedua. 1. Akibat terpaan media dan 2. Mengikuti prosedur
sederhana untuk mengidentifikasi pengaruh yang dimaksudkan dari pesan tertentu,
orang yang dimaksudkan dipengaruhi oleh pesan itu, dan akibat pengaruh tersebut
pada khlayak yang dimaksudkan. Prosedur ini analog dengan menembakkan artileri
medan: peluru ( pesan media) mengenai sasaran (khlayak dengan dampak (akibat) yang dapat diukur)
2.
TANGGGAPAN AFEKTIF
Perhatikan
bahwa swicthers dan yang lambat mengambil putusan menggunakan televisi untuk
mendapatkan informasi selama pemilihan umum mengesankan bahwa komunikasi
politik mempengaruhi penilaian pemberi suara maupun tingkat pengetahuan mereka
tentang isu dan kandidat. Apakah televise menyajikan bahan mentah kepada
pemberi suara, yang menyebabkan berubahnya citra mereka tentang kandidat, hal
itu sebagian besar bergantung pada jenis ini televise yang ditonton oleh
pemberi suara dan bagaimana mereka memanfaatkannya.Perubahan dalam orientasi
afektif terhadap kandidat pada pemberi suara yang diterpa bentuk lain
komunikasi kampanye sangat bervariasi.
3.
KONSEKUENSI KONATIF
Media politik
memainkan peran yang lebih besar dalam membantu pemberi suara dalam menyusun
pilihannya, bahkan barangkali membelot dari kebiasaan memberikan suara.
2.3 KAMPANYE, KOMUNIKASI DAN PEMBERI SUARA
Pemilihan media komunikasi harus di dasarkan atas sifat isi pesan
yang ingin disampaikan dan pemilikan media yang dimiliki khalayak. Sifat isi
pesan maksudnya ialah kemasan pesan yang ditujukan untuk masyarakat luas, dan
kemasan pesan untuk komunitas tertentu. Untuk masyarakt luas, pesan sebaiknya
di salurkan melalui media massa misalnya surat kabar atau televisi dan untuk
komunitas tertentu, di gunakan media selebaran atau salura n komunikasi
kelompok. Pengetahuan pemilikan media dikalangan masyarakat harus di ketahui
lebih dahulu berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan. Hal ini penting
untuk menghindari terjadinya pemborosan biaya, waktu, dan tenaga. Tidak ada
gunanya menggunakan media televisi dengan saluran (channel) tertentu jika
siaran yang dimaksud tidak di terima oleh masyarakat. tidak ada artinya
menggunakan media surat kabar untuk masyarakat yang tidak tahu membaca.
Pemilihan media komunikasi harus
memerhatikan hal –hal berikut :
1.
.
sumber daya komunikasi yang tersedia di suatu tempat, dengan cara :
a.
Kumpulkan
data seberapa banyak stasiun radio, penerbit, surat kabar, stasiun TV, dan beberapa banyak jumlah dan jenis surat
kabar yang beredar di masyarakat.
b.
Analisis
status sumber daya komunikasi, apakah stasiun TV dan radio yang milik swasta
atau pemerintah siapa penerbit surat kabar harian dan mingguan yanh ada.
c.
Membuat
analisis kritis yang dibutuhkan masyarakat terhadap media, informasi, apa yang
mereka perlukan, dan bagaimana pendapat atau komentar mereka.
2.
pemilikan
media di kalangan masyarakat sasaran beberapa banyak penduduk yang memiliki
pesawat televisi, tv kabel, radio, dan pelanggan surat kabar.
Terjangkau
tidaknya pesan yang akan disampaikan, apakah semua siaran televisi dapat
diterima oleh pemirsa di suatu provinsi, apakah pelanggan surat kabar hanya
terbatas dikota atau juga di desa-desa.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Bahwa Kesimpulan umumnya ialah bahwa orang yang
paling banyak diterpa komunikasi persuasif kampanye adalah yang paling
cenderung telah sampai kepada putusan pemberian suara. Yang paling besar
kemungkinannya dipengaruhi ioleh himbauan persuasif adalah yang paling sedikit
minatnya terhadap politik dan, karena itu, paling sedikit kemungkinannya
memerhatikan komunikasi kampanye. Namun, pada tahun-tahun terakhir muncul trend ketiga dalam studi tentang pemberian suara, yaitu perspektif revisionis yang
memberikan peran yang penting kepada komunikasi kampanye. Studi-studi yang
terbaru itu berfokus pada kegunaan dan pemuasan yang diberikan oleh media
komunikasi kepada pemilih.
Memasuki kebebasan berkomunikasi pasca reformasi politik di
indonesia, pembicaraan politik di forum terbuka yang mengkritisi kebijakan
pemerintah menjadi hal yang biasa. Padahal, sebeumnya tidak mudah mengungkapkan
kritik terhadap pelayanan publik di indonesia. Terlebih lagi jika kritik dan
ketidaksepakatan menyangkut pusat-pusat kekuasaan, yang mengendalikan roda
pemerintahan, jelas sebagai tindakan yang sulit ditemukan
3.2 SARAN
Makalah ini masaih jauh apa yang diharapkan oleh para
pembaca dan harus lebih diperbaiki lagi menginga judul makalah tersebut sangat
menarik perlu penambahan wawasan terhadap mahasiswa agar lebih tajam lagi dalam
membuat makalah ini agar lebih sempurna.
[1] Robert Abrams, Some Conceptual Problems Of Voting Theory, Sage
Publications, Baverly Hills, 1973.
[2] Paul Lazarsfeld et al., The people ‘s Choice, Columbia University Press,
New York, 1944, hlm 37 ; lihat juga Bernard Berelson et al., Voting, University of
Chichago Press, Chicago, 1954.
[3] Lihat buku-buku berikut ini, oleh Angus Campbellet al. The Voter Decides, Row, Peterson, Evanston,
III., 1954, the American Voter, John Wiley anda Sons, New York, 1960 : dan
Elections and the Political Order, John Wiley and Sons, New York, 1966.
[9] Campbell et
al. The American Voter, hlm 128, 133
Comments
Post a Comment