Skip to main content

Islam Sebagai Studi Sosial dan Budaya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Studi Islam adalah sistem fenomena keagamaan Islam. Sistem keagamaan artinya mengkaji konsep-konsep keagamaan baik sebagai nilai maupun doktrin agama Islam. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang berhubungan dengan nilai. Berarti studi Islam merupakan suatu usaha pengkajian terhadap aspek-aspek keagamaan Islam maupun aspek sosiologis yang menyangkut fakta-fakta empiris dalam kehidupan manusia yang timbul akibat dialog antara nilai agama keagamaan dengan realitas kehidupan manusia.
Islam dapat dikaji, dimana Islam sebagai produk budaya dan bahakan Islam juga merupakan produk interaksi sosial.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Islam sebagai studi sosial?
2. Bagaimana Islam sebagai studi budaya?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui islam sebagai studi sosial
3. Untuk mengetahui islam sebagai studi budaya







BAB II

PEMBAHASAN
2. 1 Islam sebagai Studi Sosial
Islam sebagai sasaran studi sosial ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala sosial. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agam yang perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa   , perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU dan lain-lain.
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala social, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama.Sosiologi agama mempelajari hubungantimbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agam, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya, sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbal balik itu, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai sistem nlai mempengaruhi masyarakat.
Meskipun kecenderungan sosiologi agama. Beliau member contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij, orang-orang ahli al-Sunnah wa al-jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana kita melihat masalah Islam sebagai studi sosial. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
Sosiologi dalam pengertian secara luas adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Pendekatan sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama karena banyak dari kajian agama yang hanya dapat dipahami secara tepat apabila menggunakan pendekatan sosiologi.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pendekatan sosiologi merupakan alat yang cukup sempurna dalam memahami dan mempelajari studi Islam. Adapun yang perlu diperhatikan dalam mempelajari studi Islam melalui pendekatan sosiologi, terletak pada fungsinya di dalam masyarakat. Dilihat dari fungsinya dalam kehidupan manusia, agama dituntut untuk dapat merumuskan kembali pemikiran-pemikirannya secara jelas.
Oleh karena itu studi Islam dalam pendekatan sosiologi dipandang sangat penting untuk tercapainya pemahaman secara luas dan menyeluruh (kafah) terhadap studi Islam. Hal ini dilakukan khususnya agar masyarakat awam juga dapat menerapkan studi Islam dengan berkualitas.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam buku yang berjudul Islam alternatif, karangan Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama, dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alasan berikut:
1.      Pertama, dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, kedua sumber hukum Islam itu kebanyakan berkenaan dengan urusan  muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya al-Hukuman al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat mengemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus untuk satu ayat ibadah, dan seratus ayat muamalah (masalah sosial). Ciri-ciri orang mukmin sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-9: 
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat,  dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu.  Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya”.(QS.Al-Mu’minun: 1-9)
Misalnya adalah orang yang shalatnya khusyuk, dan menghindari diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat, menjaga amanat dan janjinya dan dapat menjaga kehormatannya dari perbuatan maksiat.
2.      Kedua, ditekannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), tetapi dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3.      Ketiga, ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perseorangan. Oleh karena itu, shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4.      Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari pada bulan Ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin. Dalam hadits qudsi dinyatakan bahwa salah satu tanda orang yang diterima shalatnya ialah orang yang menyantuni orang miskin, anak yatim, janda, dan yang  mendapat musibah.
5.      Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa awal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran yang lebih besar dari pada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini, kita misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut, “Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti yang terus menerus shalat malam dan terus-menerus berpuasa’. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW menyatakan sebagai berikut, ”Maukah kamu aku beri tahukan derajat apa yang lebih utama dari pada shalat, puasa, dan sedekah (sahabat menjawab), “tentu”, yaitu  mendamaikan dua pihak yang bertengkar’.
Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat  dipahami dengan mudah karena  agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Al-Qur’an misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan, semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui  sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.
Jadi, dengan demikian studi Islam dengan mengadakan penelitian sosial. Penelitian sosial berada diantara ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivisme. Paragdima positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu social yang diangap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi sosial, maka harus mengikuti paragdima positivisme itu, yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu sosial itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika hal nya demikian, maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.
Lima hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial sebagaimana juga telah dungkap diatas.


2.2 Islam sebagai Studi Budaya

Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu sosial dan model studi budaya. Untuk yang pertama telah dibahas didalam sub bab yang lalu, sedangkan yang kedua akan menjadi pembahasan saat ini.
Studi budaya di selenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Agama samawi bukanlah Wahyu yang termasuk kebudayaan, karena ia bukan produk manusia tetapi dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah) yang telah menurunkan wahyu pada utusannya, untuk disebarkan pada manusia. Agama Islam termasuk agama samawi sehingga tidak termasuk kebudayaan. Namun demikian, agama Islam telah mendorong para pemeluknya untuk menciptakan kebudayaan dengan berbagai seginya. Dorongan tersebut dapat dikaji dari ajaran dasarnya sebagai berikut:
  1. Islam menghormati akal manusia, meletakkan akal manusia pada tempatn yang terhormat dan menyuruh manusia mempergunakan akalnya untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam, di samping dzikir kepada Allah penciptanya. Hal ini dapat dipahami dari firmannya QS. Ali Imran: 190-191.
  2. Agama Islam mewajibkan kepada tiap-tiap pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mencari dan menuntut ilmu, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah QS. al-mujadilah: 11 dan hadis Nabi Muhammad SAW, “menuntut ilmu wajib bagi setiap orang islam”, serta maqalllah “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”.
  3. Agama Islam melarang orang bertaqlid buta, menerima sesuatu tanpa diperiksa terlebih dahulu, walau dari ibu, bapak, dan nenek moyang sekalipun. Sebagaimana firman Allah QS. al-isra: 36.
  4. Agama Islam juga mendorong dan menggalakkan para pemeluknya agar menggali hal-hal yang baru atau mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh serta membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat pada masyarakat. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah QS. Al-Insyirah: 7-8, dan hadis Nabi Muhammad “barangsiapa yang berinisiatif atau memulai sesuatu cara keduniaan yang baik, maka baginya pahala sebanyak pahala untuk orang yang langsung melaksanakan sampai hari kiamat”.
  5. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk mencari keridhoan Allah dalam semua nikmat yang telah diterimanya dan menyuruh mempergunakan hak haknya atas keduniaan dalam pimpinan atau aturan agama. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Qashash: 77.
  6. Agama Islam juga menganjurkan para pemeluknya agar pergi meninggalkan kampung halamannya, berjalan ke daerah atau negeri untuk menjalin silaturahmi atau komunikasi dengan bangsa atau golongan lain, serta saling bertukar pikiran, pengetahuan, dan pandangan. Sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah QS. Al-Hajj: 46 dan sebagainya, serta hadis Nabi Muhammad SAW, “wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (ciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian), hubungkan silaturahmi (persaudaraan, komunikasi, dan konsultasi), berilah makan (tingkatkan taraf ekonomi fakir miskin yang lemah ekonominya), dan sholatlah di tengah-tengah malam sementara manusia sedang asyik tidur nyenyak, pasti engkau akan masuk surga (mencapai kebahagiaan hidup) dengan selamat dan sejahtera” (HR. Tirmidzi).
  7. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk memeriksa dan menerima kebenaran dari mana dan siapa pun datangnya, dengan catatan harus melalui proses seleksi, sehingga dapat menemukan ide, gagasan, teori, atau pandangan yang sesuai dengan petunjuknya. Sebagaimana dalam firmannya QS. Al-Zumar: 17-18.
 Sebenarnya masih banyak ajaran-ajaran Allah Dan Rasulnya yang membicarakan masalah tersebut, tetapi dari ketujuh point tersebut sudah dapat dipahami bahwa ajaran agama Islam memang benar-benar mendorong para pemeluknya dan atau menyuruh mereka untuk menciptakan kebudayaan dalam berbagai segi nya. Dengan adanya isyarat tersebut berarti bahwa kebudayaan Islam atau lebih tepatnya disebut kebudayaan muslim, mesti adanya. Karena itu sebelum melacak lebih jauh perlu dikaji lebih dahulu apa sebenarnya kebudayaan Islam (Muslim) itu sendiri.
Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi .selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi. Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi Isa sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa:
"agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si istri, demikian pula sebaliknya."
Atas dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar, asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama (Islam)lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam.
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Sholat misalnya adalah unsur (ajaran) agama, Selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, an memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari  dua entitas kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam.
Agama sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial, yang berfungsi sebagai kontrol, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded al-ashlah, artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik.
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan mengiterprestasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan, maka sistem pertahanan Islam, sistem keuangan Islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.

BAB III

PENUTUP
3.1 kesimpulan
Islam sebagai sasaran studi sosial ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala sosial. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
   Agama sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial, yang berfungsi sebagai kontrol, terhadap institus-institus yang ada.
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan mengiterprestasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.









DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun: Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengantar Studi Islam.2005.Surabaya: IAIN AMPEL PRESS SURABAYA
Endang Saifuddin Anshari. Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam.cet. 1 9Bnadung: C.V. Pelajar. 1996)
Faisal Ismail, Paragdima Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998),
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek. 1998 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta)


Comments

Popular posts from this blog

Periodesasi Sejarah Islam (Masa Pertengahan dan Modern)

BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Masalah Sejarah berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan suatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Disamping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan jika tidak di bagi dalam beberapa babakan dimana setiap babakan merupakan suatu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan suatu kebulatan untuk satu jangka waktu. Rangkaian dari babakan sejarah yang termuat dalam satu kerangka inilah yang dinamakan periodisasi sejarah.[1] Apa yang dijadikan sebagai ciri-ciri khusus untuk menetapkan satu babakan sejarah, para ahli sejarah membagi dalam beberapa aliran sebagai berikut : 1.        Aliran yang menganggap ciri kuhusus itu ialah pada bentuk negara atau sistem politik yang dianut oleh pemerintahan negara. 2.        Aliran yang menganggap bahwa tingkat

Ciri-ciri Makhluk Hidup dan Kebutuhannya

Ciri ciri makhluk hidup dan kebutuhannya A. Ciri ciri makhluk hidup dan kebutuhannya Perhatikan makhluk hidup yang ada di sekitar kita, misalnya ayam mengais-ngais di tanah, itik berenang di sungai, tikus mengais-ngais di di sampah dan sebagainya. Kegiatan yang dilakukan hewan-hewan itu untuk mencari makanan. Selain makanan, hewan juga memerlukan air.             Tumbuhan juga memerlukan makanan dan air. Jika tumbuhan tidak mendapatkan makanan dan air, akhirnya akan layu dan mati. Bagi makhluk hidup, makanan berguna untuk: 1. Mendapatkan energy 2. Mengganti sel-sel yang telah rusak (mati) 3. pertumbuhan dan 4. mengatur semua proses dalam tubuh Sumber makanan makhluk hidup : 1. Makanan manusia berasal dari tumbuhan dan hewan yang telah dimasak 2. Sumber makanan hewan berasal dari tumbuhan dan hewan 3. Tumbuhan dapat membuat makanannya sendiri Ø   Ciri- ciri makhluk hidup sebagai berikut : 1. Memerlukan makan dan minum           Makhluk hidup membutuhk