BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Studi Islam adalah sistem fenomena keagamaan
Islam. Sistem keagamaan artinya mengkaji konsep-konsep keagamaan baik sebagai
nilai maupun doktrin agama Islam. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah
perwujudan sikap dan perilaku manusia yang berhubungan dengan nilai. Berarti
studi Islam merupakan suatu usaha pengkajian terhadap aspek-aspek keagamaan
Islam maupun aspek sosiologis yang menyangkut fakta-fakta empiris dalam
kehidupan manusia yang timbul akibat dialog antara nilai agama keagamaan dengan
realitas kehidupan manusia.
Islam dapat dikaji, dimana Islam sebagai produk
budaya dan bahakan Islam juga merupakan produk interaksi sosial.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
Islam sebagai studi sosial?
2. Bagaimana Islam sebagai studi budaya?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui islam sebagai studi sosial
3. Untuk mengetahui islam sebagai studi budaya
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2. 1 Islam sebagai Studi Sosial
Islam sebagai sasaran studi sosial ini
dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala sosial. Hal ini
menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan
serta berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan
dengan Islam sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala
atau yang sudah menjadi fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang
sudah menjadi dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agam yang
perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture
atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para
penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku
dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga
dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa , perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat,
organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU dan
lain-lain.
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai
gejala social, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama.Sosiologi
agama mempelajari hubungantimbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat
mempengaruhi agam, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya,
sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbal balik itu, melainkan
lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama
sebagai sistem nlai mempengaruhi masyarakat.
Meskipun kecenderungan sosiologi agama. Beliau
member contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang
khawarij, orang-orang ahli al-Sunnah wa al-jannah dan lain-lain.
Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas
dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana kita
melihat masalah Islam sebagai studi sosial. Dalam menjawab persoalan ini tentu
kita berangkat dari penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena
sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang
hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
Sosiologi dalam pengertian secara luas adalah ilmu yang mempelajari
tentang masyarakat dan gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Pendekatan
sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama
karena banyak dari kajian agama yang hanya dapat dipahami secara tepat apabila
menggunakan pendekatan sosiologi.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pendekatan sosiologi merupakan
alat yang cukup sempurna dalam memahami dan mempelajari studi Islam. Adapun
yang perlu diperhatikan dalam mempelajari studi Islam melalui pendekatan
sosiologi, terletak pada fungsinya di dalam masyarakat. Dilihat dari fungsinya
dalam kehidupan manusia, agama dituntut untuk dapat merumuskan kembali
pemikiran-pemikirannya secara jelas.
Oleh karena itu studi Islam dalam pendekatan sosiologi dipandang
sangat penting untuk tercapainya pemahaman secara luas dan menyeluruh (kafah)
terhadap studi Islam. Hal ini dilakukan khususnya agar masyarakat awam juga
dapat menerapkan studi Islam dengan berkualitas.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu
pendekatan dalam memahami agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Dalam
buku yang berjudul Islam alternatif, karangan Jalaluddin Rahmat telah
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama, dalam hal ini Islam terhadap
masalah sosial dengan mengajukan lima alasan berikut:
1.
Pertama,
dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, kedua sumber hukum Islam itu
kebanyakan berkenaan dengan urusan
muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya al-Hukuman
al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat mengemukakan bahwa perbandingan
antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah
satu berbanding seratus untuk satu ayat ibadah, dan seratus ayat muamalah
(masalah sosial). Ciri-ciri orang mukmin sebagaimana disebutkan dalam surat
Al-Mu’minun ayat 1-9:
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan
orang-orang yang menunaikan zakat, dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu.
Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya dan orang-orang yang
memelihara sembahyangnya”.(QS.Al-Mu’minun: 1-9)
Misalnya adalah orang yang shalatnya khusyuk, dan menghindari diri
dari perbuatan yang tidak bermanfaat, menjaga amanat dan janjinya dan dapat
menjaga kehormatannya dari perbuatan maksiat.
2.
Kedua,
ditekannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa
bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting,
ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), tetapi
dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3.
Ketiga,
ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari
pada ibadah yang bersifat perseorangan. Oleh karena itu, shalat yang dilakukan
secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan
sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4.
Keempat,
dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau
batal, karena melanggar pantangan tertentu, kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak
mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam
bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari
pada bulan Ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya adalah
memberi makan kepada orang miskin. Dalam hadits qudsi dinyatakan bahwa salah
satu tanda orang yang diterima shalatnya ialah orang yang menyantuni orang
miskin, anak yatim, janda, dan yang
mendapat musibah.
5.
Kelima,
dalam Islam terdapat ajaran bahwa awal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran yang lebih besar dari pada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini,
kita misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut, “Orang yang bekerja
keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan
Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti yang terus menerus shalat
malam dan terus-menerus berpuasa’. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW menyatakan sebagai berikut,
”Maukah kamu aku beri tahukan derajat apa yang lebih utama dari pada shalat,
puasa, dan sedekah (sahabat menjawab), “tentu”, yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar’.
Melalui pendekatan sosiologis, agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk
kepentingan sosial. Dalam Al-Qur’an misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan
dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran
suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan, semua itu jelas
baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu
diturunkan.
Jadi, dengan demikian studi Islam dengan
mengadakan penelitian sosial. Penelitian sosial berada diantara ilmu budaya
mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami
keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri
paradigmanya positivisme. Paragdima positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu
itu baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat
diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan
ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau
diverifikasi. Sedangkan ilmu social yang diangap dekat dengan ilmu kealaman
berarti juga dapat diamati, diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan
sebagai sasaran studi sosial, maka harus mengikuti paragdima positivisme itu,
yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga berkembang
penelitian kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti
ilmu sosial itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika hal nya
demikian, maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.
Lima hal sebagai gejala agama yang telah
disebut di atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan
menggunakan pendekatan ilmu sosial sebagaimana juga telah dungkap diatas.
2.2 Islam sebagai Studi
Budaya
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati.
Sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung
pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh
orang yang melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama
dapat dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu sosial
dan model studi budaya. Untuk yang pertama telah dibahas didalam sub bab yang
lalu, sedangkan yang kedua akan menjadi pembahasan saat ini.
Studi budaya di selenggarakan dengan penggunaan
cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang
bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang
dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk social yang isinya adalah
perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat
digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan
untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Agama samawi bukanlah Wahyu yang termasuk kebudayaan, karena ia
bukan produk manusia tetapi dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah) yang telah
menurunkan wahyu pada utusannya, untuk disebarkan pada manusia. Agama Islam
termasuk agama samawi sehingga tidak termasuk kebudayaan. Namun demikian, agama
Islam telah mendorong para pemeluknya untuk menciptakan kebudayaan dengan
berbagai seginya. Dorongan tersebut dapat dikaji dari ajaran dasarnya sebagai
berikut:
- Islam menghormati akal manusia, meletakkan
akal manusia pada tempatn yang terhormat dan menyuruh manusia
mempergunakan akalnya untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam, di
samping dzikir kepada Allah penciptanya. Hal ini dapat dipahami dari
firmannya QS. Ali Imran: 190-191.
- Agama Islam mewajibkan kepada tiap-tiap
pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mencari dan menuntut
ilmu, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah QS. al-mujadilah: 11
dan hadis Nabi Muhammad SAW, “menuntut ilmu wajib bagi setiap orang
islam”, serta maqalllah “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”.
- Agama Islam melarang orang bertaqlid buta,
menerima sesuatu tanpa diperiksa terlebih dahulu, walau dari ibu, bapak,
dan nenek moyang sekalipun. Sebagaimana firman Allah QS. al-isra: 36.
- Agama Islam juga mendorong dan
menggalakkan para pemeluknya agar menggali hal-hal yang baru atau
mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh serta
membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat pada
masyarakat. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah QS. Al-Insyirah: 7-8,
dan hadis Nabi Muhammad “barangsiapa yang berinisiatif atau memulai
sesuatu cara keduniaan yang baik, maka baginya pahala sebanyak pahala
untuk orang yang langsung melaksanakan sampai hari kiamat”.
- Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya
untuk mencari keridhoan Allah dalam semua nikmat yang telah diterimanya
dan menyuruh mempergunakan hak haknya atas keduniaan dalam pimpinan atau
aturan agama. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Qashash: 77.
- Agama Islam juga menganjurkan para
pemeluknya agar pergi meninggalkan kampung halamannya, berjalan ke daerah
atau negeri untuk menjalin silaturahmi atau komunikasi dengan bangsa atau
golongan lain, serta saling bertukar pikiran, pengetahuan, dan pandangan.
Sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah QS. Al-Hajj: 46 dan
sebagainya, serta hadis Nabi Muhammad SAW, “wahai sekalian manusia,
sebarkanlah salam (ciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian), hubungkan
silaturahmi (persaudaraan, komunikasi, dan konsultasi), berilah makan
(tingkatkan taraf ekonomi fakir miskin yang lemah ekonominya), dan
sholatlah di tengah-tengah malam sementara manusia sedang asyik tidur
nyenyak, pasti engkau akan masuk surga (mencapai kebahagiaan hidup) dengan
selamat dan sejahtera” (HR. Tirmidzi).
- Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya
untuk memeriksa dan menerima kebenaran dari mana dan siapa pun datangnya,
dengan catatan harus melalui proses seleksi, sehingga dapat menemukan ide,
gagasan, teori, atau pandangan yang sesuai dengan petunjuknya. Sebagaimana
dalam firmannya QS. Al-Zumar: 17-18.
Sebenarnya masih banyak ajaran-ajaran Allah
Dan Rasulnya yang membicarakan masalah tersebut, tetapi dari ketujuh point
tersebut sudah dapat dipahami bahwa ajaran agama Islam memang benar-benar
mendorong para pemeluknya dan atau menyuruh mereka untuk menciptakan kebudayaan
dalam berbagai segi nya. Dengan adanya isyarat tersebut berarti bahwa
kebudayaan Islam atau lebih tepatnya disebut kebudayaan muslim, mesti adanya.
Karena itu sebelum melacak lebih jauh perlu dikaji lebih dahulu apa sebenarnya
kebudayaan Islam (Muslim) itu sendiri.
Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi .selain agama
Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi.
Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi Isa
sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari
kebudayaan. Demikian pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam
suatu tulisannya bahwa:
"agama samawi dan kebudayaan tidak saling
mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya;
masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan
dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia
sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan
istri, yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si
istri, demikian pula sebaliknya."
Atas dasar pandangan di atas, maka agama Islam
sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian
pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam.
Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya.
Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar,
asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai
budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama (Islam)lah yang
menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak
budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam.
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun
memiliki keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda,
sehingga keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Sholat misalnya adalah
unsur (ajaran) agama, Selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia
dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga
menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat
sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah,
membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup
kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat
terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah,
mengolah, an memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai
oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua
entitas kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat
maka akan muncul muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa.
Sebaliknya, jika entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul
kebudayaan Islam.
Agama sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai
mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial, yang
berfungsi sebagai kontrol, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat
Islam berpegang pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa
al-akhdzu bi al jaded al-ashlah, artinya: memelihara pada produk budaya
lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik.
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian
yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan. Kebudayaan adalah
keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang
isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif
dapat digunakan untuk memahami dan mengiterprestasi lingkungan yang dihadapi,
dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Oleh karena
itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi
terhadap teks suci itu disebut kebudayaan, maka sistem pertahanan Islam, sistem
keuangan Islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia
adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka
perbedaan itu terletak pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam
Islam, yang disusun atas dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Islam sebagai sasaran studi sosial ini
dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala sosial. Hal ini
menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan
serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Agama sebagai
budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah
pranata sosial dan gejala sosial, yang berfungsi sebagai kontrol, terhadap
institus-institus yang ada.
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian
yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan. Kebudayaan adalah
keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang
isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif
dapat digunakan untuk memahami dan mengiterprestasi lingkungan yang dihadapi,
dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun: Studi Islam IAIN Sunan Ampel
Surabaya. Pengantar Studi Islam.2005.Surabaya: IAIN AMPEL PRESS SURABAYA
Endang Saifuddin Anshari. Pokok-pokok
Pikiran Tentang Islam.cet. 1 9Bnadung: C.V. Pelajar. 1996)
Faisal Ismail, Paragdima Kebudayaan Islam
Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998),
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi
Islam;dalam Teori dan Praktek. 1998 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta)
Comments
Post a Comment