FENOMENOLOGI
Kata fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak,
yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah
gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang
apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi
adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak
atau yang menampakkan diri.[1] Seorang Fenomenolog suka
melihat gejala.. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at
things”.
Lahirnya aliran psikologi Fenomeologi sangat dipengaruhi oleh
filsafat Fenomenologi. Tokoh filsafat fenomenologi yang terkenal
adalah Edmund Husserl (1859-1938). Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang
individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma.
Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak
dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga
disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog
cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia
kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup.
A. Fenomenologi Edmund Hussel
Berger
menerjemahkan konsep everyday life dari
fenomenologi Alfred Schutz. Tidak dapat dipungkiri bahwa Schutz adalah sosiolog
yang paling berpengaruh dalam sosiologi Berger. Sementara itu, Schutz
menerjemahkan filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl yang bersifat abstrak
untuk masuk dalam studi sosiologi yang bersifat empiris.
Menurut Wilson (2011:
231), Fenomenologi, per se, merupakan sebuah cabang filsafat, yang berakar dari karya Husserl dan penulis-penulis
seterusnya (misalnya, Heidegger, Startre, Merleau-Ponty, yang mengambil ide menjadi eksistensialisme). Seperti yang dikemukakan oleh Husserl, tujuan dari fenomenologi, adalah
untuk mempelajari
fenomena manusia tanpa mempertimbangkan pertanyaan tentang sebab-sebabnya, realitas objektif mereka, atau bahkan penampilan mereka. Tujuannya adalah untuk mempelajari bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam kesadaran, kognitif, tindakan persepsi, serta bagaimana mereka dapat dinilai atau dihargai secara estetis. Fenomenologi berusaha memahami
bagaimana orang membangun makna dan
sebuah konsep kunci, yaitu intersubjektivitas. Pengalaman manusia di dunia, di mana pikiran individu tentang dunia didasarkan, adalah intersubjektif karena individu mendapatkan pengalaman di
dunia dengan, dan melalui orang lain. Apapun arti yang
diciptakan berakar pada tindakan manusia, dan totalitas artefak sosial dan benda-benda budaya didasarkan pada aktivitas manusia.
Kaum ilmuwan positif, apakah mereka sadar tentang hal ini ataupun
tidak, telah memaparkan kepada suatu struktur dunia yang abstark dan
artificial, tetapi bukan suatu dunia murni yang kita alami. Untuk memecahkan
dunia artificial dari ilmuwan positif dan untuk mendapatkan suatu dunia
kehidupan yang secara langsung kita alami (yang diistilahkan oleh Husserl
dengan Lebenswelt), maka seseorang perlu menggunakan “metode reduksi”
dan memahami dasar kesadaran, yaitu tentang ‘intensionalitas’. Kesadaran selalu
mengarahkan dirinya sendiri kepada sesuatu yang bukan kesadaraan. Inilah suatu
esensi kesadaran yang membentuk suatu makna dan menentukan objeknya sendiri. (Campbell, 1994: 216)
Dengan pemahaman semacam ini dapat dimulai bentuk pengertian dari
terminologi Husserl. Dia menyebut sebagai reduksi fenomenologi transendental.
Disebut transsendental, sebab dalam proses tersebut, ego mampu menemukan
dirinya sendiri, juga mampu menemukan objek untuk dirinya sendiri yang memiliki
arti dan keberadaan. Dia menyebut “fenomenologi” sebab dunia ini hanya
ditransformasikan dalam bentuk fenomena yang murni. Akhirnya dia menyebut
dengan “reduksi” sebab proses yang beralasan tersebut mampu “membenahi kembali”
(dari bahasa Latin reducere) terhadap intensionalitas, di mana hal ini
merupakan sumber pokok tentang makna dunia yang nyata.
Fenomenologi dapat dirangkum “sebagai suatu dorongan yang bersifat
“reflektif”, dan mampu membedakan antara pemikiran dengan refleksi. Tetapi
sebagaimana yang akan dilihat ternyata hal ini dalam perkembangan selanjutnya
hanya dijadikan sebagai suatu hal yang bersifat penafsiran yakni suatu bentuk
sosiologis: padahal ketika membaca metode Husserl, metode bukan hanya bersifat
suatu peafsiran (Campbell:
1994: 218). Inti dari pemikiran
Husserl tentang “reduksi” adalah untuk melampaui pemikiran dan bisa mencapai
refleksi dalam pengertian yang sudah depaparkan di atas tadi. Setiap manusia
memiliki suatu intensionalitas tertentu terhadap objek-objek pemikiran. Ia tertarik
terhadap suatu objek dan objek itu pada gilirannya akan menempatkan realitas
dan validitas tertentu terhadapannya. Husserl menamakan hal ini dengan “sikap
alami”, suatu penerimaan pengawalan yang tidak dipertanyakan. Tetapi apa yang
baik bagi oang awan tidaklah baik juga bagi para kaum filsuf atau kaum ilmuwan.
Kaum ilmuwan, dalam mencari pengetahuan yang valid, harus menunjukkan suatu epoche-yakni
gabungan beberapa keyakinan dalam objek-objek pengalaman. Dia harus
menghilangkan kepentingannya atau tidak memiliki kepentingan atas dirinya
sendiri. Hal ini membutuhkan penyerahan terhadap alam dan mengadopsinya menjadi
suatu “sikap yang netral”. Dengan Epoche ini bukan berarti bahwa
seseorng harus menolak atau mengesampingkan dunia atau pengalamannya, tetapi
seseorang itu hendaknya mulai untuk mempertanyakannya.
Dari Epochee ini, maka seseorang akan memasuki fase pertama dari
suatu reduksi-sebagaimana yang digambarkan oleh refleksi seseorang anak di atas
tadi. Hanya dalam fase refleksi inilah seseorang akan dapat membedakan
pengalaman nyata dari pengalaman yang distorsi sebelum refleksi. Refleksi ini
juga akan mengarah pada pencapaian-pencapaian yang lainnya. Sejauh seseorang
“tertarik terhadap sesuatu”, maka pemikiran sesorang akan memiliki selektif yang
tinggi yakni seseorang hanya akan memperhatikan fakta-fakta tertentu dan
mengabaikan yang lainnya. Tetapi dengan refleksi ini, maka sesuatu yang
sebelumnya sudah diketahui menjadi dipertanyakan kembali, sementara fakta-fakta
yang dulunya tidak diperhatikan atau dianggap sebagai sesuatu yang tidak
penting, sekarang akan tampak secara jelas dan menuntut adanya suatu penjabaran
atau penjelasan. Oleh karenanya, “reduksi fenomenologi” merupakan suatu
disiplin yang bersifat “deskriptif”. Jika dalam reduksi (refleksi) kita tidak
lagi mempertanyakan dunia dan kita tidak tahu dunia macam apa dan situasi macam
apapula yang harus dipertanyakan, maka tidak ada yang harus dijelaskan lagi (Campbell: 1994: 219-220).
B.
Fenomenologi
Alferd Schutz
Fenomenologi
bercorak filsafat Husserl, diteruskan oleh Alfred Schutz, yang merupakan
kelompok sosiolog
berbahasa Jerman. Lebih jauh lagi, ia adalah salah satu
sarjana yang paling penting dalam menerjemahkan pendiri
fenomenologi, yaitu filsuf Edmund Husserl. Schutz mempelopori fenomenologi dalam studi sosiologi, yang menyebabkan perubahan signifikan ilmu-ilmu sosial sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat
maupun di Eropa
dan di Asia. (Endress,
2005: 1)
Menurut Ajiboye (2012:
18), Alfred Schutz merupakan orang pertama
yang mencoba menjelaskan bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Schutz prihatin dengan cara orang memahami tentang
kesadaran. Schutz mempertanyakan sifat realitas sosial para sosiolog dan siswa yang hanya peduli dengan diri mereka sendiri. Dia mencari jawaban dalam kesadaran manusia dan pikirannya. Baginya, tidak ada seorang pun yang membangun
realitas dari pengalaman intersubjective yang mereka alami. Kemudian, Schutz bertanya lebih lanjut, apakah dunia sosial berarti untuk setiap orang sebagai aktor, atau bahkan berarti baginya sebagai seorang yang mengamati tindakan orang lain? Apa arti dunia sosial untuk aktor/subjek yang diamati, dan apa yang dia maksud dengan tindakannya di dalamnya? Pendekatan semacam ini
memiliki implikasi,
tidak hanya untuk
orang yang kita pelajari,
tetapi juga untuk diri sendiri yang mempelajari orang
lain.
Dimulai dengan upaya untuk memperjelas konsep sosiologi Max Weber
tentang pemahaman (verstehen), Schutz mengembangkan
sociopragmatic yang mentransformasi teori
Husserl tentang dunia-kehidupan (life-world), yang berfokus
pada proses the self-constitution dalam realitas sosial. “This paradigm initiates an action-oriented
shift in social theory and social research by which the processes of the
constitution of meaning in the social world became the focus of
sociological inquiry.” (Endress, 2005: 1-2)
Fenomenologi menekankan usaha untuk mendapatkan kebenaran sesuatu,
dengan mewujudkan sendiri kesadaran, dan mengalami kesadaran itu. Dengan demikian, prinsip pertama fenomenologi adalah untuk menghindari semua misconstructions
dan pemaksaan pengalaman sebelumnya,
agama atau budaya, tradisi, dari akal
sehat sehari-hari, atau bahkan dari ilmu
pengetahuan itu sendiri. Kebebasan dari prasangka berarti mengatasi sekat atas nama tradisi dan juga berarti menolak dominasi penyelidikan
oleh dikenakan metode eksternal. Sebagian besar tokoh pendiri fenomenologi menekankan perlunya pembaharuan filsafat sebagai
pertanyaan radikal tidak terikat untuk tradisi historis: dan mereka mendukung
penolakan terhadap semua dogmatisme, dan kecurigaan dalam positivism.
Fenomenologi dipandang sebagai kontak menghidupkan kembali hidup manusia dengan
realitas (Dermot, 2000: 4-5).
Secara metodologis, Schutz menekankan konsep pembentukan aktor dalam dunia
kehidupan sehari-hari, dan ia mengembangkan berdasarkan
fenomenologis. Karenanya, ia mempelajari dan mengapresiasi secara kritis konsep
Weber entang pengertian makna
subjektif dan objektif, serta konsep tindakan, untuk menghasilkan secara rinci analisis
fenomenologis tentang makna subjektif dan tindakan aktor. Kemudian
ia bergerak untuk mengembangkan diskusi panjang aktor dalam
kehidupan dunia sehari-hari, dengan fokus pada pemahaman intersubjektif dan
struktur sosial dunia dari sudut pandang aktor
(Wilson, 19-20).
Untuk itu, piranti
fenomenologis Husserl yang dipakai Schutz, untuk melihat pengalaman keseharian
individu adalah memeriksa kehidupan batiniah individu, yaitu pengalaman
mengenai fenomena atau penampakan sebagaimana terjadi pada arus kesadaran
(Campbell, 1994: 233). Konsep yang dikembangkan
Schutz dari Husserl kemudian adalah intensionalitas, yaitu hubungan sadar kita pada sesuatu. Doktrin inensionalitas kemudian
menyatakan bahwa setiap tindakan kesadaran diarahkan pada objek. Kesadaran pada dasarnya adalah kesadaran "dari" sesuatu atau
lainnya (Sokolowski, 2000: 8).
Dalam
intensionalitas, pengalaman melibatkan orang-orang yang mengarahkan
perhatiannya pada objek, dan objek dipahami secara terang dan jelas pada
pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dicapai sehingga menghasilkan apa
yang menurut Husserl disebut sebagai ‘apersepsi’ atau pemberian makna secara spontan pada apa yang diberikan
oleh indera. Ketika hal ini terjadi pada orang dewasa, dunia kehidupan
subjektif individu tersusun dari berbagai macam unsur, direfleksikan dan
diseleksi. Pengalaman-pengalaman itu – menurut Husserl – dapat dibersihkan dari
semua prasangka sehingga mendapatkan unsur-unsur dasariah pengalaman dan
struktur yang mendasarinya. Proses pembersihan itu disebut sebagai reduksi
fenomenologis.
Sementara itu, Schutz meletakkan manusia dalam
pengalaman subjektif dalam bertindak dan mengambil sikap dalam dunia kehidupan
sehari-hari. Dunia tesebut adalah kegiatan praktis. Kemampuan inti
manusia dapat ditemuakan dengan menganalisis unsur-unsur dasar kesadaran
praktis manusia yang terus berlangsung, aliran tindakan yang tetap terarah
menuju serentetan tujuan yang memungkinkan untuk memandang kehidupan menurut
proyek-proyek yang dikejar manusia. Jadi kehidupan sehari-hari adalah orientasi
pragmatis ke masa depan. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan tertentu yang
dengan itu mereka melihat dan berusaha untuk mengubah dunia yang mereka tangkap
(Campbell, 1994: 235-237).
Dalam hal ini,
Doyle (2008:141) menyebutnya dengan konsep motive,
yang oleh Schutz dibedakan menjadi dua pemaknaan dalam konsep motive yaitu “in order to” dan “because”. Motive “in order to”
adalah motif yang berorientasi ke depan yang masuk pada tindakan penjelasan
dalam term untuk mencapai hasil.
Sementara itu, “because”
merupakan motive yang melihat masa lalu untuk mengidentifikasi latar belakang
pengalaman yang memberikan kontribusi pada perkembangan dalam tindakan
analisis. Kesadaran dalam kehidupan sehari-hari ini adalah sebuah kesadaran
sosial. Proses menjadi kesadaran sosial berlangsung dalam dua tahap:
1.
Pengandaian kesadaran, Kesadaran
mengandaikan begitu saja adanya kegiatan orang lain sebagai penghuni dunia yang
dilakukan bersama. Hal ini tampak pada tindakan sosial khusus yang
mempertimbangkan reaksi orang lain, pengetahuan yang mereka andaikan mengenai
situasi tersebut, dan seterusnya,
2.
Dunia kehidupan individu kemudian menjadi inter-subjektif
dengan makna bersama dan rasa ketermasukan ke dalam sebuah kelompok. Kelompok
ini menjadi “milik kita” bukan sekedar “milikku”. Individu mengandaikan begitu
saja bahwa ada saling pemahaman satu dengan yang lain, melihat dunia dengan
cara yang sama dan bertindak dalam kenyataan yang sama (Campbell, 1994:242).
Shutz menyatakan bahwa dunia sosial keseharian selalu merupakan hal
yang intersubjektif. Dalam dunia ini individu selalu membagi-bagi dengan
teman-temannya, dan dengan yang lain-lainnya, yang juga menjalani dan
menafsirkannya. Oleh karenaya, dunia saya secara keseluruhan tidak akan pernah
bersifat pribadi sepenuhnya, bahkan di dalam kesadaran individu, selalu
menemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan suatu bukti bahwa
situasi biografi saya yang unik ini tidak seluruhnya merupakan produk dari
tindakan-tindakan sendiri. Setiap dari manusia dilahirkan pada suatu sejarah
dunia yang sudah ada secara bertahap bersifat alami dan sosio-budaya. Dunia
yang ada sebelum saya datang itu akan terus berlanjut untuk terus ada dalam
waktu yang sangat panjang, meskipun saya telah tiada. Setiap dari kita
merupakan suatu elemen pada situasi kehidupan yang lainnya, seolah-olah mereka
itu milik kita, yakni saya bertindak atas setiap dari kita dilahirkan pada
suatu sejarah dunia yang sudah ada secara bertahap bersifat alami dan sosial
budaya. Dunia yang ada sebelum saya datang itu akan terus berlanjut untuk terus
ada dalam waktu yang sangat panjang, meskipun saya telah tiada. Setiap dari
kita merupakan suatu elemen pada situasi kehidupan yang lainnya, seolah-olah mereka
itu milik kita, yakni saya bertindak atas mereka dan mereka bertindak atas
saya, sehingga semua mengalami dunia kita secara umum dan dalam corak yang
sama. Pengalaman kita terhadap dunia keseharian merupakan satu-satunya yang
masuk di akal secara umum, sebab setiap dari kita mendapatkannya secara spontan
sehingga saudara-saudara kita eksis, mereka memiliki kesadaran hidup, kita
dapat berkomunikasi dengan mereka, dan akhirnya mereka hidup dalam alam sejarah yang ada dan dalam dunia sosio budaya
yang sama sebagaimana yang kita alami (Campbell, 1994: 259-260)
Sementara itu, Schutz juga menjelaskan bahwa esensi dari akal sehat,
ada dengan sendirinya, yakni dalam dunia keseharian. Ini merupakan suatu
elaborasi Lebenswelt yang dikemukakan Husserl. Dia juga menggunakan ide
Husserl untuk menjelaskan bagaimana kita bisa mengetahui orang lain dan mampu
berkomunikasi dengan mereka. Seseorang hanya menggunakan gambaran bentuknya
kepada saya dan bukan pemikirannya. Kesadaran kehidupannya tidak dapat
digambarkan dan memang bukan sesuatu yang dapat digambarkan. Kesadaran individu
hanya menerima adanya beberapa tanda-tanda kesadaran kehidupannya,
pengalaman-pengalamanya terutama persepsi visual, tindakan-tindakannya dan
tindakan–tindakan orang lain atasnya. (Campbell, 1994:260-261).
Di sisi lain, ketertarikan manusia dalam dunia kehidupan sehari-hari
merupakan suatu yang sangat praktis sifatnya, dan tidak bersifat teoritis.
Dalam ‘sifat alami mereka” diatur oleh motif-motif pragmatis yakni mereka
berupaya mengontrol, menguasai, atau mengubah dunia dalam rangka menerapkan
proyek-proyek dan tujuan-tujuan mereka. Schutz menyebut kehidupan sehari-hari
yang praktis tersebut dengan istilah ‘dunia kerja” (Campbell, 1994:226). Kehidupan keseharian merupakan wadah
kehidupan sosial dimana manusia memperlakukan dunia ini sebagai lahan yang
harus dikuasai, dan mereka berusaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan
yang datang dari luar untuk mencapai pada rencana-rencana kehidupan mereka. Hal
ini, merupakan suatu realitas yang paling menarik bagi kita semua, tetapi tidak
semua aspek dunia realitas puncak sama dengan berbagai proyek kehidupan kita.
Oleh karenanya, kita menyeleksi dalam dunia jangakauan aktual individu
objek-objek yang diyakini akan mampu memenuhi kepentingan dan ketertarikan kita
dan mampu mewujudkan proyek-proyek tersebut (Campbell, 1994:263-264).
Jadi konstruksi ilmuwan sosial tidak pernah merujuk pada dunia yang
tidak memiliki pikiran dan tidak bermakna, tetapi selalu merujuk kepada
konstruksi dunia sosial yang bermakna. Ini berarti, kata Schutz, seluruh
konstruksi yang digunakan oleh para ilmuwan sosial merupakan suatu konstruksi
tahap yang kedua, yaitu konstruksi-konstruksi yang telah dibuat oleh para aktor
terhadap ilmu-ilmu sosial, dimana perilaku ilmuwan sosial adalah untuk
mengamati dan mencoba menjelaskan sesuai dengan aturan prosedur keilmuannya (Campbell, 1994:267).
Pengetahuan dunia individu yang bersifat common sense (akal
sehat) keseharian, menurut Schutz, merupakan sistem konstruksi yang sangat
khas. Masing-masing dunia individu telah dialami dan ditafsirkan oleh para
pendahulu mereka, demikian pula pengetahuan kita tentang dunia, pengalaman kita
sendiri dan pengalaman kontemporer kita selalu didasarkan kepadanya. Keadaan
tersebut merupakan suatu yang telah ada dan tak bisa dipertanyakan, meskipun
suatu saat persedian pengetahuan yang dapat dipertanyakan itu muncul (Campbell, 1994:7). Lebih jauh lagi, pengalaman-pengalaman
terdahulu yang telah diwarisi bersifat khas: individu mengalami sesuatu yang
ada di dunia ini bukanlah merupakan objek-objek dan kejadian-kejadian yang
aneh, tetapi sebagai sesuatu yang khas-misalnya anjing, kucing, manusia, pohon
dan lain sebagainya merupakan suatu konsep yang khas dan umum dimana hanya
manusialah yang mampu memahami realitas tersebut (Campbell, 1994:268).
Comments
Post a Comment