Skip to main content

pengertian fenomenologi


FENOMENOLOGI
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri.[1] Seorang Fenomenolog suka melihat gejala.. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Lahirnya aliran psikologi Fenomeologi sangat dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi. Tokoh filsafat fenomenologi yang terkenal adalah Edmund Husserl (1859-1938). Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup.
A.    Fenomenologi Edmund Hussel
Berger menerjemahkan konsep everyday life dari fenomenologi Alfred Schutz. Tidak dapat dipungkiri bahwa Schutz adalah sosiolog yang paling berpengaruh dalam sosiologi Berger. Sementara itu, Schutz menerjemahkan filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl yang bersifat abstrak untuk masuk dalam studi sosiologi yang bersifat empiris.
Menurut Wilson (2011: 231), Fenomenologi, per se, merupakan sebuah cabang filsafat, yang berakar dari karya Husserl dan penulis-penulis seterusnya (misalnya, Heidegger, Startre, Merleau-Ponty, yang mengambil ide menjadi eksistensialisme). Seperti yang dikemukakan oleh Husserl, tujuan dari fenomenologi, adalah untuk mempelajari fenomena manusia tanpa mempertimbangkan pertanyaan tentang sebab-sebabnya, realitas objektif mereka, atau bahkan penampilan mereka. Tujuannya adalah untuk mempelajari bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam kesadaran, kognitif, tindakan persepsi, serta bagaimana mereka dapat dinilai atau dihargai secara estetis. Fenomenologi berusaha memahami bagaimana orang membangun makna dan sebuah konsep kunci, yaitu intersubjektivitas. Pengalaman manusia di dunia, di mana pikiran individu tentang dunia didasarkan, adalah intersubjektif karena individu mendapatkan pengalaman di dunia dengan, dan melalui orang lain. Apapun arti yang diciptakan berakar pada tindakan manusia, dan totalitas artefak sosial dan benda-benda budaya didasarkan pada aktivitas manusia.
Kaum ilmuwan positif, apakah mereka sadar tentang hal ini ataupun tidak, telah memaparkan kepada suatu struktur dunia yang abstark dan artificial, tetapi bukan suatu dunia murni yang kita alami. Untuk memecahkan dunia artificial dari ilmuwan positif dan untuk mendapatkan suatu dunia kehidupan yang secara langsung kita alami (yang diistilahkan oleh Husserl dengan Lebenswelt), maka seseorang perlu menggunakan “metode reduksi” dan memahami dasar kesadaran, yaitu tentang ‘intensionalitas’. Kesadaran selalu mengarahkan dirinya sendiri kepada sesuatu yang bukan kesadaraan. Inilah suatu esensi kesadaran yang membentuk suatu makna dan menentukan objeknya sendiri. (Campbell, 1994: 216)
Dengan pemahaman semacam ini dapat dimulai bentuk pengertian dari terminologi Husserl. Dia menyebut sebagai reduksi fenomenologi transendental. Disebut transsendental, sebab dalam proses tersebut, ego mampu menemukan dirinya sendiri, juga mampu menemukan objek untuk dirinya sendiri yang memiliki arti dan keberadaan. Dia menyebut “fenomenologi” sebab dunia ini hanya ditransformasikan dalam bentuk fenomena yang murni. Akhirnya dia menyebut dengan “reduksi” sebab proses yang beralasan tersebut mampu “membenahi kembali” (dari bahasa Latin reducere) terhadap intensionalitas, di mana hal ini merupakan sumber pokok tentang makna dunia yang nyata.
Fenomenologi dapat dirangkum “sebagai suatu dorongan yang bersifat “reflektif”, dan mampu membedakan antara pemikiran dengan refleksi. Tetapi sebagaimana yang akan dilihat ternyata hal ini dalam perkembangan selanjutnya hanya dijadikan sebagai suatu hal yang bersifat penafsiran yakni suatu bentuk sosiologis: padahal ketika membaca metode Husserl, metode bukan hanya bersifat suatu peafsiran (Campbell: 1994: 218). Inti dari pemikiran Husserl tentang “reduksi” adalah untuk melampaui pemikiran dan bisa mencapai refleksi dalam pengertian yang sudah depaparkan di atas tadi. Setiap manusia memiliki suatu intensionalitas tertentu terhadap objek-objek pemikiran. Ia tertarik terhadap suatu objek dan objek itu pada gilirannya akan menempatkan realitas dan validitas tertentu terhadapannya. Husserl menamakan hal ini dengan “sikap alami”, suatu penerimaan pengawalan yang tidak dipertanyakan. Tetapi apa yang baik bagi oang awan tidaklah baik juga bagi para kaum filsuf atau kaum ilmuwan. Kaum ilmuwan, dalam mencari pengetahuan yang valid, harus menunjukkan suatu epoche-yakni gabungan beberapa keyakinan dalam objek-objek pengalaman. Dia harus menghilangkan kepentingannya atau tidak memiliki kepentingan atas dirinya sendiri. Hal ini membutuhkan penyerahan terhadap alam dan mengadopsinya menjadi suatu “sikap yang netral”. Dengan Epoche ini bukan berarti bahwa seseorng harus menolak atau mengesampingkan dunia atau pengalamannya, tetapi seseorang itu hendaknya mulai untuk mempertanyakannya.
Dari Epochee ini, maka seseorang akan memasuki fase pertama dari suatu reduksi-sebagaimana yang digambarkan oleh refleksi seseorang anak di atas tadi. Hanya dalam fase refleksi inilah seseorang akan dapat membedakan pengalaman nyata dari pengalaman yang distorsi sebelum refleksi. Refleksi ini juga akan mengarah pada pencapaian-pencapaian yang lainnya. Sejauh seseorang “tertarik terhadap sesuatu”, maka pemikiran sesorang akan memiliki selektif yang tinggi yakni seseorang hanya akan memperhatikan fakta-fakta tertentu dan mengabaikan yang lainnya. Tetapi dengan refleksi ini, maka sesuatu yang sebelumnya sudah diketahui menjadi dipertanyakan kembali, sementara fakta-fakta yang dulunya tidak diperhatikan atau dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting, sekarang akan tampak secara jelas dan menuntut adanya suatu penjabaran atau penjelasan. Oleh karenanya, “reduksi fenomenologi” merupakan suatu disiplin yang bersifat “deskriptif”. Jika dalam reduksi (refleksi) kita tidak lagi mempertanyakan dunia dan kita tidak tahu dunia macam apa dan situasi macam apapula yang harus dipertanyakan, maka tidak ada yang harus dijelaskan lagi (Campbell: 1994: 219-220).

B.     Fenomenologi Alferd Schutz
Fenomenologi bercorak filsafat Husserl, diteruskan oleh Alfred Schutz, yang merupakan kelompok sosiolog berbahasa Jerman. Lebih jauh lagi, ia adalah salah satu sarjana yang paling penting dalam menerjemahkan pendiri fenomenologi, yaitu filsuf  Edmund Husserl. Schutz mempelopori fenomenologi dalam studi sosiologi, yang menyebabkan perubahan signifikan ilmu-ilmu sosial sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat maupun di Eropa dan di Asia. (Endress, 2005: 1)
Menurut Ajiboye (2012: 18), Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba menjelaskan bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Schutz prihatin dengan cara orang memahami tentang kesadaran. Schutz mempertanyakan sifat realitas sosial para sosiolog dan siswa yang hanya peduli dengan diri mereka sendiri. Dia mencari jawaban dalam kesadaran manusia dan pikirannya. Baginya, tidak ada seorang pun yang membangun realitas dari pengalaman intersubjective yang mereka alami. Kemudian, Schutz bertanya lebih lanjut, apakah dunia sosial berarti untuk setiap orang sebagai aktor, atau bahkan berarti baginya sebagai seorang yang mengamati tindakan orang lain? Apa arti dunia sosial untuk aktor/subjek yang diamati, dan apa yang dia maksud dengan tindakannya di dalamnya? Pendekatan semacam ini memiliki implikasi, tidak hanya untuk orang yang kita pelajari, tetapi juga untuk diri sendiri yang mempelajari orang lain.
Dimulai dengan upaya untuk memperjelas konsep sosiologi Max Weber tentang pemahaman (verstehen), Schutz mengembangkan sociopragmatic yang mentransformasi teori Husserl tentang dunia-kehidupan (life-world), yang berfokus pada proses the self-constitution dalam realitas sosial. “This paradigm initiates an action-oriented shift in social theory and social research by which the processes of the constitution of meaning in the social world became the focus of sociological inquiry.” (Endress, 2005: 1-2)
Fenomenologi menekankan usaha untuk mendapatkan kebenaran sesuatu, dengan  mewujudkan  sendiri kesadaran, dan mengalami kesadaran itu. Dengan demikian, prinsip pertama fenomenologi adalah untuk menghindari semua misconstructions dan pemaksaan  pengalaman sebelumnya, agama atau budaya,  tradisi, dari akal sehat sehari-hari, atau bahkan dari  ilmu pengetahuan  itu sendiri.  Kebebasan dari prasangka berarti mengatasi sekat atas nama  tradisi dan  juga berarti menolak dominasi penyelidikan oleh dikenakan metode eksternal. Sebagian besar tokoh pendiri fenomenologi menekankan perlunya pembaharuan filsafat sebagai pertanyaan radikal tidak terikat untuk tradisi historis: dan mereka mendukung penolakan terhadap semua dogmatisme, dan kecurigaan dalam positivism. Fenomenologi dipandang sebagai kontak menghidupkan kembali hidup manusia dengan realitas (Dermot, 2000: 4-5).
Secara metodologis, Schutz menekankan konsep pembentukan aktor dalam dunia kehidupan sehari-hari, dan ia mengembangkan  berdasarkan fenomenologis. Karenanya, ia mempelajari dan mengapresiasi secara kritis konsep Weber entang pengertian makna subjektif dan objektif, serta konsep tindakan, untuk  menghasilkan secara rinci analisis fenomenologis  tentang makna subjektif dan tindakan aktor. Kemudian ia  bergerak untuk mengembangkan diskusi panjang aktor dalam kehidupan dunia sehari-hari, dengan fokus pada pemahaman intersubjektif dan struktur sosial dunia dari sudut pandang aktor (Wilson, 19-20).
Untuk itu, piranti fenomenologis Husserl yang dipakai Schutz, untuk melihat pengalaman keseharian individu adalah memeriksa kehidupan batiniah individu, yaitu pengalaman mengenai fenomena atau penampakan sebagaimana terjadi pada arus kesadaran (Campbell, 1994: 233). Konsep yang dikembangkan Schutz dari Husserl kemudian adalah intensionalitas, yaitu hubungan sadar kita pada sesuatu. Doktrin inensionalitas kemudian menyatakan bahwa setiap tindakan kesadaran diarahkan pada objek. Kesadaran pada dasarnya adalah kesadaran "dari" sesuatu atau lainnya (Sokolowski, 2000: 8).
Dalam intensionalitas, pengalaman melibatkan orang-orang yang mengarahkan perhatiannya pada objek, dan objek dipahami secara terang dan jelas pada pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dicapai sehingga menghasilkan apa yang menurut Husserl disebut sebagai ‘apersepsi’ atau pemberian  makna secara spontan pada apa yang diberikan oleh indera. Ketika hal ini terjadi pada orang dewasa, dunia kehidupan subjektif individu tersusun dari berbagai macam unsur, direfleksikan dan diseleksi. Pengalaman-pengalaman itu – menurut Husserl – dapat dibersihkan dari semua prasangka sehingga mendapatkan unsur-unsur dasariah pengalaman dan struktur yang mendasarinya. Proses pembersihan itu disebut sebagai reduksi fenomenologis.
Sementara itu, Schutz meletakkan manusia dalam pengalaman subjektif dalam bertindak dan mengambil sikap dalam dunia kehidupan sehari-hari. Dunia tesebut adalah kegiatan praktis. Kemampuan inti manusia dapat ditemuakan dengan menganalisis unsur-unsur dasar kesadaran praktis manusia yang terus berlangsung, aliran tindakan yang tetap terarah menuju serentetan tujuan yang memungkinkan untuk memandang kehidupan menurut proyek-proyek yang dikejar manusia. Jadi kehidupan sehari-hari adalah orientasi pragmatis ke masa depan. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan tertentu yang dengan itu mereka melihat dan berusaha untuk mengubah dunia yang mereka tangkap (Campbell, 1994: 235-237).
Dalam hal ini, Doyle (2008:141) menyebutnya dengan konsep motive, yang oleh Schutz dibedakan menjadi dua pemaknaan dalam konsep motive yaitu “in order to” dan “because”. Motive “in order to” adalah motif yang berorientasi ke depan yang masuk pada tindakan penjelasan dalam term untuk mencapai hasil.  Sementara itu, “because” merupakan motive yang melihat masa lalu untuk mengidentifikasi latar belakang pengalaman yang memberikan kontribusi pada perkembangan dalam tindakan analisis. Kesadaran dalam kehidupan sehari-hari ini adalah sebuah kesadaran sosial. Proses menjadi kesadaran sosial berlangsung dalam dua tahap:
1.             Pengandaian kesadaran, Kesadaran mengandaikan begitu saja adanya kegiatan orang lain sebagai penghuni dunia yang dilakukan bersama. Hal ini tampak pada tindakan sosial khusus yang mempertimbangkan reaksi orang lain, pengetahuan yang mereka andaikan mengenai situasi tersebut, dan seterusnya,
2.             Dunia kehidupan individu kemudian menjadi inter-subjektif dengan makna bersama dan rasa ketermasukan ke dalam sebuah kelompok. Kelompok ini menjadi “milik kita” bukan sekedar “milikku”. Individu mengandaikan begitu saja bahwa ada saling pemahaman satu dengan yang lain, melihat dunia dengan cara yang sama dan bertindak dalam kenyataan yang sama (Campbell, 1994:242).
Shutz menyatakan bahwa dunia sosial keseharian selalu merupakan hal yang intersubjektif. Dalam dunia ini individu selalu membagi-bagi dengan teman-temannya, dan dengan yang lain-lainnya, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Oleh karenaya, dunia saya secara keseluruhan tidak akan pernah bersifat pribadi sepenuhnya, bahkan di dalam kesadaran individu, selalu menemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan suatu bukti bahwa situasi biografi saya yang unik ini tidak seluruhnya merupakan produk dari tindakan-tindakan sendiri. Setiap dari manusia dilahirkan pada suatu sejarah dunia yang sudah ada secara bertahap bersifat alami dan sosio-budaya. Dunia yang ada sebelum saya datang itu akan terus berlanjut untuk terus ada dalam waktu yang sangat panjang, meskipun saya telah tiada. Setiap dari kita merupakan suatu elemen pada situasi kehidupan yang lainnya, seolah-olah mereka itu milik kita, yakni saya bertindak atas setiap dari kita dilahirkan pada suatu sejarah dunia yang sudah ada secara bertahap bersifat alami dan sosial budaya. Dunia yang ada sebelum saya datang itu akan terus berlanjut untuk terus ada dalam waktu yang sangat panjang, meskipun saya telah tiada. Setiap dari kita merupakan suatu elemen pada situasi kehidupan yang lainnya, seolah-olah mereka itu milik kita, yakni saya bertindak atas mereka dan mereka bertindak atas saya, sehingga semua mengalami dunia kita secara umum dan dalam corak yang sama. Pengalaman kita terhadap dunia keseharian merupakan satu-satunya yang masuk di akal secara umum, sebab setiap dari kita mendapatkannya secara spontan sehingga saudara-saudara kita eksis, mereka memiliki kesadaran hidup, kita dapat berkomunikasi dengan mereka, dan akhirnya mereka hidup dalam alam  sejarah yang ada dan dalam dunia sosio budaya yang sama sebagaimana yang kita alami (Campbell, 1994: 259-260)
Sementara itu, Schutz juga menjelaskan bahwa esensi dari akal sehat, ada dengan sendirinya, yakni dalam dunia keseharian. Ini merupakan suatu elaborasi Lebenswelt yang dikemukakan Husserl. Dia juga menggunakan ide Husserl untuk menjelaskan bagaimana kita bisa mengetahui orang lain dan mampu berkomunikasi dengan mereka. Seseorang hanya menggunakan gambaran bentuknya kepada saya dan bukan pemikirannya. Kesadaran kehidupannya tidak dapat digambarkan dan memang bukan sesuatu yang dapat digambarkan. Kesadaran individu hanya menerima adanya beberapa tanda-tanda kesadaran kehidupannya, pengalaman-pengalamanya terutama persepsi visual, tindakan-tindakannya dan tindakan–tindakan orang lain atasnya. (Campbell, 1994:260-261).
Di sisi lain, ketertarikan manusia dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu yang sangat praktis sifatnya, dan tidak bersifat teoritis. Dalam ‘sifat alami mereka” diatur oleh motif-motif pragmatis yakni mereka berupaya mengontrol, menguasai, atau mengubah dunia dalam rangka menerapkan proyek-proyek dan tujuan-tujuan mereka. Schutz menyebut kehidupan sehari-hari yang praktis tersebut dengan istilah ‘dunia kerja” (Campbell, 1994:226). Kehidupan keseharian merupakan wadah kehidupan sosial dimana manusia memperlakukan dunia ini sebagai lahan yang harus dikuasai, dan mereka berusaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan yang datang dari luar untuk mencapai pada rencana-rencana kehidupan mereka. Hal ini, merupakan suatu realitas yang paling menarik bagi kita semua, tetapi tidak semua aspek dunia realitas puncak sama dengan berbagai proyek kehidupan kita. Oleh karenanya, kita menyeleksi dalam dunia jangakauan aktual individu objek-objek yang diyakini akan mampu memenuhi kepentingan dan ketertarikan kita dan mampu mewujudkan proyek-proyek tersebut (Campbell, 1994:263-264).
Jadi konstruksi ilmuwan sosial tidak pernah merujuk pada dunia yang tidak memiliki pikiran dan tidak bermakna, tetapi selalu merujuk kepada konstruksi dunia sosial yang bermakna. Ini berarti, kata Schutz, seluruh konstruksi yang digunakan oleh para ilmuwan sosial merupakan suatu konstruksi tahap yang kedua, yaitu konstruksi-konstruksi yang telah dibuat oleh para aktor terhadap ilmu-ilmu sosial, dimana perilaku ilmuwan sosial adalah untuk mengamati dan mencoba menjelaskan sesuai dengan aturan prosedur keilmuannya (Campbell, 1994:267).
Pengetahuan dunia individu yang bersifat common sense (akal sehat) keseharian, menurut Schutz, merupakan sistem konstruksi yang sangat khas.  Masing-masing dunia individu  telah dialami dan ditafsirkan oleh para pendahulu mereka, demikian pula pengetahuan kita tentang dunia, pengalaman kita sendiri dan pengalaman kontemporer kita selalu didasarkan kepadanya. Keadaan tersebut merupakan suatu yang telah ada dan tak bisa dipertanyakan, meskipun suatu saat persedian pengetahuan yang dapat dipertanyakan itu muncul (Campbell, 1994:7). Lebih jauh lagi, pengalaman-pengalaman terdahulu yang telah diwarisi bersifat khas: individu mengalami sesuatu yang ada di dunia ini bukanlah merupakan objek-objek dan kejadian-kejadian yang aneh, tetapi sebagai sesuatu yang khas-misalnya anjing, kucing, manusia, pohon dan lain sebagainya merupakan suatu konsep yang khas dan umum dimana hanya manusialah yang mampu memahami realitas tersebut (Campbell, 1994:268).



[1] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT. Gramedia, 1981, hlm. 109.

Comments

Popular posts from this blog

Islam Sebagai Studi Sosial dan Budaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Studi Islam adalah sistem fenomena keagamaan Islam. Sistem keagamaan artinya mengkaji konsep-konsep keagamaan baik sebagai nilai maupun doktrin agama Islam. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang berhubungan dengan nilai. Berarti studi Islam merupakan suatu usaha pengkajian terhadap aspek-aspek keagamaan Islam maupun aspek sosiologis yang menyangkut fakta-fakta empiris dalam kehidupan manusia yang timbul akibat dialog antara nilai agama keagamaan dengan realitas kehidupan manusia. Islam dapat dikaji, dimana Islam sebagai produk budaya dan bahakan Islam juga merupakan produk interaksi sosial. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1 . Bagaimana Islam sebagai studi sosial? 2. Bagaimana Islam sebagai studi budaya? 1.3 TUJUAN 1. Untuk mengetahui islam sebagai studi sosial 3. Untuk mengetahui islam sebagai studi budaya BAB II PEMBAHASAN 2. 1 Islam sebagai Studi Sosial Islam seb

Periodesasi Sejarah Islam (Masa Pertengahan dan Modern)

BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Masalah Sejarah berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan suatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Disamping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan jika tidak di bagi dalam beberapa babakan dimana setiap babakan merupakan suatu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan suatu kebulatan untuk satu jangka waktu. Rangkaian dari babakan sejarah yang termuat dalam satu kerangka inilah yang dinamakan periodisasi sejarah.[1] Apa yang dijadikan sebagai ciri-ciri khusus untuk menetapkan satu babakan sejarah, para ahli sejarah membagi dalam beberapa aliran sebagai berikut : 1.        Aliran yang menganggap ciri kuhusus itu ialah pada bentuk negara atau sistem politik yang dianut oleh pemerintahan negara. 2.        Aliran yang menganggap bahwa tingkat

Ciri-ciri Makhluk Hidup dan Kebutuhannya

Ciri ciri makhluk hidup dan kebutuhannya A. Ciri ciri makhluk hidup dan kebutuhannya Perhatikan makhluk hidup yang ada di sekitar kita, misalnya ayam mengais-ngais di tanah, itik berenang di sungai, tikus mengais-ngais di di sampah dan sebagainya. Kegiatan yang dilakukan hewan-hewan itu untuk mencari makanan. Selain makanan, hewan juga memerlukan air.             Tumbuhan juga memerlukan makanan dan air. Jika tumbuhan tidak mendapatkan makanan dan air, akhirnya akan layu dan mati. Bagi makhluk hidup, makanan berguna untuk: 1. Mendapatkan energy 2. Mengganti sel-sel yang telah rusak (mati) 3. pertumbuhan dan 4. mengatur semua proses dalam tubuh Sumber makanan makhluk hidup : 1. Makanan manusia berasal dari tumbuhan dan hewan yang telah dimasak 2. Sumber makanan hewan berasal dari tumbuhan dan hewan 3. Tumbuhan dapat membuat makanannya sendiri Ø   Ciri- ciri makhluk hidup sebagai berikut : 1. Memerlukan makan dan minum           Makhluk hidup membutuhk