A.
PENDEKATAN-PENDEKATAN ILMU POLITIK
1. PENDEKATAN
LEGAL/TRADISIONAL
Pendekatan legal/konstitusional yang sering dinamakan pendekatan
tradisional, mulai berkembang pada abad 19 pada masa sebelum perang Dunia II.
Dalam pendekatan ini negara menjadi focus pokok, Terutama segi konstitusional
dan yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat dari
Undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta
yuridis, dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif dan
badan yudikatif. Dengan demikian pendekatan tradisional ini mencakup baik unsur
legal maupun unsur institusional.
Seandainya kita
akan ingin mempelajari parlemen dengan pendekatan ini maka akan yang akan di
bahas adalah kekuasaan serta wewenang yang dimilikinya sperti tertuang dalam
naskah-naskah resmi (undang-undang dasar, undang –undang, atau peraturan tata
tertib) hubungan formal dengan badan eksekutif struktur organisasi (pembagian
dalam komisi, jenjang –jenjang pembicaraan) atau hasil kerjanya (berupa
udang-undang telah di hasilkan).
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif
(yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan
norma-norma demokrasi barat. Menurut penglihatan ini, negara ditafsirkan
sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusionalyang formal (a body of
formal constitutional norms).[1]
Contoh dari
pendekatan ini adalah karya R. Kranerburg, yang berjudul Algemene Staatsleer,
yang terjemahannya telah lama beredar di Indonesia dengan judul Ilmu Negara
Umum.[2] Di
samping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi barat.
Seperti Inggris,Amerika, Perancis, Belanda. dan Jerman. Dengan demikian dapat
di pahami bahwa pendekatan ini kurang memberi peluang bagi terbentuknya
teori-teori baru.
2.
PENDEKATAN PRILAKU/BEHAVIORILISME
a. latar belakang munculnya Pendekatan
Prilaku (Behavioralisme)
*
Behavioralisme lahir karena adanya
ketidakpuasan kalangan sarjana politik terhadap prosedur atau cara melakukan
studi politik tradisional yaitu salah satunya ketidakpuasan terhadap para
sarjana politik terhadap analisis yang sifatnya semata-mata deskriptif.
*
Faktor lain lahirnya behavioralisme adalah
pengaruh dari penganut aliran positivisme dan pada waktu itu di Amerika semakin
berkembang pengumpulan pendapat umum dengan menggunakan reknis riset survey
melalui kombinasi dengan matematika dan statistik.
Pendekatan
prilaku timbul dan mulai berkembang di amerika pada tahun 1950-an seusai perang
dunia II. Adaupun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut :
1. sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuasakan,
karena tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari
2. ada kekhawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan
pesat. Ia akan ketinggalan di banding dengan ilmu-ilmu lainnnya seperti
sosiologi dengan tokohnya Max Weber (1864-1920) dan talcot parsons (1902-1979),
antropologi dan psikologi.
3. dikalangan pemerintahah amerika telah muncul keraguan mengenai
kemampuan para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
Salah satu pemikiran politik
dari pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas
lembaga-lembanga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfat untuk
mempelajari perilaku (bahvior) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar
dapat diamati. Pembahasan mengenai perilaku bisa saja terbatas pada perilaku
perorangan saja, tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar
seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok, elit gerakan nasional, atau suatu
masyarakat politik (polity).
Pendekatan ini
tidak menganggap lembaga-lembag formal sebagai titik sentral atau sebagai aktor
yang independen, tetapi hanya sebagai kerangkan bagi kegiatan manusia. Jika
penganut pendekatan perilaku mempelajari parlemen, maka yang di bahas antara
lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting
behavior) terhadap rancangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan
mengapa demikian), pidato pidatonya, giat tidaknya memprakasai rancangan
undang-undang, cara berinteraksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan
latar belakang sosialnya.
Di samping itu, pendekatan prilaku menampilkan suatu ciri khas yang
merevolusioner yaitu suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu
politi. Orientasi ini mencakup beberapa konsep pokok, yang oleh David Easton
(1962) dan Alberth somit, di uraikan sebagai berikut:
1. perilaku
politik menampilkan keteraturan, regularities (yang perlu di rumuskan sebagai
generaslisasi-generalisasi yang kemudian di buktan atau diverifikasi
kebenarannya. Proses verifikasi ini dilakukan melalui pengumpulan dan analisis
data yang dapat di ukur atau dikuantifikasikan antara lain melalui statistik
dan metematika.
2. harus ada
usaha membedakan secara jelas antar norma (ideal atau standar) sebagai pedoman
untuk perilaku dan fakta (sesuatu yang dapat di buktikan berdasarkan pengamaan
dan pengalaman).
3. analisis
politik tidak boleh di pengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti; setiap
analisis harus bebas-nilai (value-free), sebab benar tidaknya nilai nilai
seperti misalnya demokrasi persamaan, kebebasan, tidak dapat di ukur secara
ilmiah
4. penelitian
harus sistematis menuju pembentukan teori (Theory Building).
5. ilmu politik
harus bersifat murni (Pure Science); kajian terapan untuk mencari penyelesaian
masalah(problem solving) dan menyusun rencana perbaikan perlu dihindarkan. Akan
tetapi ilmu politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan ilmu-ilmu
lainnya.[3]
Dengan pendekatan baru ini usaha untuk mengumpulkan data maju
dengan pesat. Para sarjana mulai mempelajari banyak aspek yang semula tidak
tertangkap melalui pengamatan. Satuan analisis bergeser dan instuisi ke manusia
(pelaku atau aktor), dan struktur ke proses dan dinamika. Para penganut
pendekatan ini tidak hanya mempelajari instuisi-instuisi, tetapi juga manusia
didalamnya, seperti perilaku presiden dan anggota parlemen, bagaimana mereka
menjalankan tugas, dan bagaimana mereka memandang perilaku mereka sendiri.
Dalam rangka itu pula muncul penelitian mengenai rekrutmen politik,
kepemimpinan, dmasalah keterwakilan (representation), sosialisasi
politik, struktur kekuasaaan dalam suatu komunitas, kebudayaan politik,
konsesus dan konflik, komposisi sosial dan elite politik. Contoh dari
pendekatan perilaku adalah karya Gabriel Almond dan Sidney Verba, The Civic
Culture (1962), suatu studi yang mempelajari kebudayaan politik di ilmu
negara demokrasi. Dua puluh tahun kemudain studi ini ditinjau kembali oleh
sarjana-sarjana yang sama dan hasilnya diterbitkan dengan judul Civil
Culture Revisted (1980).
Salah satu ciri khas Pendekatan Perilaku ini adalah pandangan bahwa
masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara suatu sistem
politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Dalam suatu sistem,
bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerjasama
untuk menunjang terselenggaranya sistem itu. Sistem mengalami stress dari lingkungan, tetapi berusaha mengatasinya
dengan memelihara keseimbangan. Dengan demikian sistem dapat bertahan (persist).
3. PENDEKATAN
NEO MARXIS
Semenara penganut
pendekatan perilaku sibuk menangkis serangan dari para sarjana pasca-perilaku,
muncullah kritik dari kubu lain, yaitu dari kalangan Marxis. Para marxis ini
yang sering dinamakan neo-marxis untuk membedakan mereka dari orang marxis
klasik yang lebih dekta dengan komunisme, bukan merupakan kelompok yang ketat
organisasinya atau mempunyai pokok pemikiran yang sama. Lebih tepat apabila
mereka di gambarkan sebagai kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
cendekiawam yang mendapat inspirasi dari tulisan tulisan Marx. Terutama yang di
karang dalam masa mudanya. Cikal bakal orientasi ini adalah tulisan-tulisan
sarjana hongaria, George Lukacs (1885-1971). Terutama dalam karyanya yang
berjudul history anda class consciousness.
Kebanyakan
kalangan neo-marxis adalah cendekiawan yang berasal dari kalangan “borjuis” dan
seperti cendekiawan di mana mana, enggan mengabunggkan diri dalam organisasi
besar seperti partai politik atau terjun aktif dalam kegiatan politik praktis.
Hanya ada satu atau dua kelompok yang militan, antara lain golongan kiri baru
(New Left).
Para neo-marxis ini, di satu pihak menolak komunisme dari Uni
Soviet karena sifatnya yang represif, tapi di pihak lain mereka juga tidak
setuju dengan banyak aspek dari masyarakat kapitalis dimana mereka berada. Begitu
pula mereka kecewa dengan kalangan sosial-demokrat.[4]
Meskipun kalangan sosial-demokrat berhasil melaksanakan konsep negara
kesejahteraan (welfare state) di beberapa negara di Eropa Barat dan utara dan
meningkatkan keadilan sosial untuk warganya, tetapi mereka dianggap gagal
menghapuskan banyak kesenjangan sosial lainnya lagi pula mereka juga dilihat
gagal mempertahankan nilai-nilai demokrasi. Karena pentingnya peran kalangan
noe-marxis ini, ada baiknya kita menelusuri asal usul mereka.
Pada awal
dasawarsa 1960-an di Eropa Barat telah timbul perhatian baru terhadap tulisan
Marx. Mengapa justru pada waktu itu? Sebelumnya, suasaana di dunia barat tidak
menguntungkan bagi usaha mengkaji tulisan-tulisan Marx. Selama tiga puluh tahun
berkuasanya Stalin (1924-1953), tafsiran Lenin mengenai pemikiran Marx oleh
Stalin di bakukan dan dinamakan Marxisme, Lenimisme, atau Komunisme. Doktrin
ini menjadi dominan, karena berhasil mendirikan suatu tatanan sosial dan
ekonomi baru di Uni Soviet.
Dominasi ini
diakui sebagai fakta oleh orang barat yang menamakan dirinya Marxis, sedangkan
para neo-marxis pada umumnya tidak mempermasalahkan apakah tafsiran yang layak,
ataukah mungkin ada interpretasi yang lain. Akan tetapi oleh mayoritas orang
barat komunisme di tolak, apalagi setelah stalin melancarkan terror terhadap
lawan-lawannya di Uni Soviet pada akhir tahun 1930-an.
4. PENDEKATAN TEORI
KETERGANTUNGAN (DEPENDENCY THEORY)
Bertolak dari konsep Lenin mengenai Imperialisme, kelompok ini
berpendapat bahwa Imperialisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu
dominasi ekonomi dari negara-negara kaya terhadap negara-negara yang kurang
maju (Underdeveloped). Negara negara maju memang telah melepaskan tanah
jajahannya, tetapi tetap mengendalikan (mengontrol) ekonominya.
Pembangunan yang
dilakukan negara-negara yang kurang maju atau Dunia Ketiga, hampir selalu
berkaitan erat dengan kepentingan pihak barat.
a. Negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan
sumber daya alam. Investasi negara negara maju diuntungkan karena negara kurang
maju dapat memberlakukan gaji atau upah yang kecil bagi tenaga kerjanya, sewa
tanah yang rendah dan bahan baku yang murah.
b. negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil Produksi
negara Maju. Sedangkan produksi untuk ekspor sering di temukan oleh negara
maju. Eksploitasi ini menyebabkan negara-negara kurang maju mengalami
kemiskinan terus menerus karena pengaruh strategi ekonomi dan politik dari
negara maju, dan kemiskinan mencerminkan ketergantungan.
Yang paling ekstremadalah pemikiran pelopor Teori Ketergantungan,
Andre Gunder Frank (tahun 1960-an) yang berpendapat bahwa penyelesaian masalah
itu hanyalah melalui Revolusi Sosial secara global. Sementara penulis lain
seperti Henrique Cardoso (1979) menganggap bahwa pembangunan yang independen
ada kemungkinan terjadi, sehingga revolusi sosial tidak mutlak harus terjadi.
Sekalipun pendapat
dari kalangan Teori Ketergantungan itu sendiri ada perbedaan satu sama
lain, tapi dapat di sebut beberapa
variasi dalam istilah yang dipakai untuk menunjuk pada perbedaan anatara negara
kaya dan negara miskin, seperti Patron-client, centre-periphery-core
periphery centre-hinterland, metropolitan-satellite. Sementara itu, istilah
World System model biasanya dihubungkan dengan nama Immanuel Wallerstein.
Mereka berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala seluruh dunia; mereka
melihat adanya suatu rantai hubungan metropolitan satelit (chain of
metropolitan-satellite) dalam struktur sistem dunia yang melampaaui batas batas
negara.[5]
5. PENDEKATAN
PILIHAN RASIONAL (RATIONAL CHOICE)
a. Pilihan rasional adalah bahwa “ketika dihadapkan pada beberapa jenis
tindakan orang biasanya melakukan apa yang mereka yakini berkemungkinan
mempunyai hasil yang terbaik ”(Elster:1998a:2).
b. Atau Teori pilihan rasional merupakan kerangka pemikiran untuk memahami dan
merancang model perilaku sosial dan ekonomi.
c. Teori Pilihan Rasional sering juga
disebut dengan Pilihan Tindakan Rasional (Rational Action Theory) teori ini
pada awalnya berpengaruh kuat pada analisis- analisis ekonomi ,tetapi kemudian
di adopsi oleh sosiologi,psikologi,ilmu politik bahkan ilmu humaniora.
meskipun teori pilihan rasional ini awalnya
berakar pada sosiologi Max weber, tetapi berkembang di dalam sosiologi populer
tahun 1990-an,mulai masuk ke dalam Asosiasi Sosiologi Amerika setelah munculnya
Jurnal Rationality and Society pada
Tahun 1989 dan berrdirinya Seksi Pilihan Rasional pada tahun 1944 di negara
Buchanan dan Tullock menyebutkan dua asumsi
pada teori pilihan rasional:
a. Individu rata – rata lebih tertarik untuk
memaksimalkan utilitas kepentingan pribadi. Hal ini berati preferensi
individu-nya akan mengarah pada pilihan-pilihan yang dapat memaksimalkan
keuntungan dan meminimalkan biaya.
b. Hanya Individu yang membuat keputusan, bukan kolektif
yang membuat keputusan. Ini dikenal sebagai metodologi individualisme dan
menganggap bahwa keputusan kolektif merupakan kesatuan keputusan individual.
c. Inti dari Teori ini adalah individu sebagai aktor
terpenting dalam dunia politik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai
tujuan tujuan (goal-seeking atau goal oriented) yang mencerminkan apa yang
dianggap sebagai kepentingan diri
sendiri. Ia melakukan hal itu dalam situasi terbatasnya sumber daya dan karena
itu ia perlu membuat pilihan. Pelaku pada Pilihan Rasional ini meliputi
terutama, Politisi, Birokrat, pemilih dan Aktor ekonomi. Optimalisasi
kepentingan dari efisiensi merupakan inti dari Teori pilihan Rasional.
[1] David Easton
“Political Science” International Encylopedia Of the social Sciences,
Vol XII (New York : the macmillan Company and the Free Press, 1968), hlm .283.
[2] R. Kranenburg,
Ilmu Negara Umum, terjemahan B. Sabaroedin (Jakarta:J.B Wolters, 1959).
[3] David Easton,
“The Current Meaning Of Behaviorlism in political Science” dalam James C.
Charlesworth,, eds the limits of behavioralism in Political Science
(Philadelphia: 1962), hlm 7-8 ; Alberth Somit dan Joseph Tanenhaus, the
Development of American Political Science, hlm, 177-179.
[4] Mengenai
Aliran sosial-demokrat, lihat Miriam Budiarjo (ed)., Simposium Kapitalisme,
Sosialisme, Demokrasi (Jakarta :Gramedia, 1984), hlm. 3-24 dan Miriam
Budiarjo, Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia 1994).
[5] Davd Easton, Sociology
of Modernization and Development (London:unwin Hymen Ltd,, 1988) hlm.82.
Comments
Post a Comment